Karya : Weren Taseseb
Rerumputan menua pada sisi-sisi jalan berkerikil Sejumput harap tentang mulusnya jalan ini telah renta Memuai bersama pergantian musim-musim gundul Mungkin akan kembali dengan kisah lama yang sama Masih seperti kemarin pagi, pelitaku hampir padam Liukan nyalanya masih meredup tersendat-sendat Minyaknya sedang krisis sebelum kokok ayam Lalu, akan mati terkapar seperti kemarau yang suram Aku masih akan terbiasa mendengar derap langkah Perempuan-perempuan subuh dari mata air kampung Tanpa alas kaki karena sudah terbiasa berkaki melepuh Bahkan tumit pun membatu seperti tapak kerbau di padang Aku tersedak, batuk seperti radio yang kehabisan batrei Mungkin terhirup asap pelita yang menghitam di langit-langit Atau singgah di hidungku dan bertengger tanpa permisi Barangkali juga karena kerongkonganku sedang tercekat Tidak, ini masih terlalu pagi untuk kehausan segelas air putih Tak perlu mengimpikan segelas kopi; terseduh bersama debu Lalu, mengering di bibirku dan ampasnya tertinggal di atas pelepah Sebelum matahari menjinjit, aku ingin berdoa dengan bibir kelu Aku takut berselisih tatap dengan para tuan muda di kota-kota Apalagi harus berbisik dengan suara kampungan sambil tergagap “Tuan, mungkinkah jalan kampungku masih dalam khatulistiwa?” Atau aku harus menggantinya dengan sedikit lebih sigap “Pak, andai saja kita bertukar posisi, mungkinkah kau ‘kan tertawa sambil sesekali menyeduh kopimu ketika debu berlomba-lomba melukis pusaran lalu membentuk pulau kecil pada bibir gelasmu?” Barangkali aku sedang bersandiwara dengan ilusiku Lalu, kembali menelusuri jalan ini seperti semalam Ibarat sebelum Indonesia merdeka dari penjajah bermata biru Kembali lagi memeluk pelitaku yang hampir padam; kelam
Pages: 1 2