Karya: Weren Taseseb
Sepoi angin sore menggugurkan ingatan Tentang kenangan suram masa silam Saat hidup menghampiri ambang kelam Hari-hari seperti di tanah pembuangan Aku seperti sedang berada di tepi telaga Sibuk menyibak air yang tak pernah surut Sambil menjelajah bilik-bilik hati yang sempit Untuk memastikan Tuhan masih ada di sana Malam kembali memeluk hari yang lalu Menenggelamkannya dengan angin musim Dingin perlahan menyasar sum-sum Aliran darah mungkin juga sedang tergugu Aku terlepas dari jerat yang melilit Bukan saja pikiran tapi juga jiwa yang pernah terluka Sayap-sayap yang pernah terkulai kembali terbalut cinta Bukan sekadar asmara penawar hati yang kecut “Tuhan, akukah sebutir debu yang Kaupilah? Masih adakah celah sesudah Kaupilih? Izinkan aku menengadah dengan bait doa yang patah Mungkin esok aku tak lagi seperti air jernih Juga tak lebih baik dari sebutir debu tanah Perlahan hilang terjejal musim yang musnah” Lalu diam-diam beban-beban tertelan sunyi Malam bungkam dari balik bukit-bukit
Kisah di Balik Bening
Kehidupan manusia tidak terlepas dari kesibukan dan kebisingan dunia yang kerap membuat manusia tidak sampai pada situasi batin yang begitu tenang, damai dan bahagia. Berada dalam dituasi yang penuh ketegangan, orang bisa memandang dunia “rumahnya” dari sisi negatif termasuk orang-orang terdekat sekalipun. Hal-hal baik yang teralami serasa begitu tawar, kurang menarik bahkan menyebabkan amarah yang berkepanjangan. Melalui puisi “Bening” ini, penulis ingin mengatakan bahwa ada baiknya jika pada waktu-waktu tertentu, orang perlu mengambil jarak dari rutinitas, mencuri beberapa waktu untuk menyepikan diri. Melihat kembali pengalaman-pengalaman bermakna yang mungkin lupa disadari dan disyukuri. Tidak harus dalam keadaan sedang berdoa sekalipun, ketika batin sedang “bening” seberat apapun beban akan terasa ringan. Juga dalam situasi batin sedang “bening” orang dapat menemukan hal-hal terselubung yang luput dari perhatian kebanyakan orang.
Tentang Penulis
Weren Taseseb lahir dan besar di Desa Naip, Timor Tengah Selatan, NTT. Sejak kecil kurang percaya diri dalam hal berbicara apalagi berpuisi hingga tahun 2017 ketika berada dalam situasi sulit, ia memutuskan untuk menuangkan kehancurannya dengan kata-kata sederhana di status Facebook. Sejak itu ia mulai belajar menulis karya sastra kreatif dan beberapa karyanya telah terbit dalam serial Kampung Pentigraf (Cerpen Tiga Paragraf) Indonesia serta beberapa antologi puisi. Karya-karya terbarunya dapat terdapat dalam antologi Seserpih Benih Kasih (Kanisius: 2020) dan juga dalam Antologi Esai dan Kritik Sastra NTT (Kosa Kata Kita: 2021). Kupang sebagai domisilinya sekarang dan aktif sebagai Kontributor SinergiNews.
Penyunting: Fitri Kurniawati.