Strategi Pemajuan Budaya Lokal: “Rembug Warga Pemaju Kebudayaan”

Ilustrasi: Rembug Warga Pemaju Kebudayaan (AI)
Ilustrasi: Rembug Warga Pemaju Kebudayaan (AI)

OPINI – Rembug warga pemaju kebudayaan di tingkat kelurahan adalah adalah suatu inovasi dalam menstimulasi peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemajuan kebudayaan. Strategi ini diharapkan mampu mengatasi tantangan rendahnya partisipasi masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang lebih relevan dengan kebutuhan lokal.

Mekanisme pelaksanaan rembug warga, kriteria delegasi, serta kontribusinya terhadap penguatan eksistensi Dewan Kebudayan Kota Cimahi perlu dirumuskan. Harapannya, gagasan ini dapat memberikan rekomendasi untuk optimalisasi peran masyarakat sebagai salah satu instrumen dalam pemajuan kebudayaan.

Pemajuan kebudayaan merupakan isu strategis yang semakin mendapat perhatian, seiring dengan upaya pelestarian warisan budaya dan penguatan identitas lokal. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi pengembangan sektor kebudayaan di Indonesia.

Kota Cimahi, telah memiliki suatu regulasi terkait pemajuan kebudayaan, yaitu Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pemajuan Budaya Lokal yang menggariskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemajuan budaya lokal.

Pentingnya Strategi Pemajuan Budaya Lokal di Kota Cimahi

Kota Cimahi memiliki potensi budaya yang sangat beragam, mulai dari seni pertunjukan, adat istiadat, hingga pengetahuan tradisional. Namun, upaya untuk melibatkan masyarakat secara menyeluruh dalam pemajuan kebudayaan masih menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya keterwakilan masyarakat dan rendahnya pemahaman terhadap OPK di tingkat akar rumput.

Setiap tahun, Kota Cimahi menyelenggarakan musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) mulai dari tingkat kelurahan dan berjenjang ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun dalam musrenbang ada bidang budaya, namun pada kenyataannya tidak pernah ada satu pun program yang menyentuh pada objek pemajuan kebudayaan yang menjadi skala prioritas.

Hal ini disebabkan adanya perbedaan persepsi dalam penterjemahan diksi “budaya” dari masyarakat umum, pemerintah dan masyarakat penggiat kebudayaan.

Wajar, karena masyarakat belum sepenuhnya menyadari tentang program-program pemajuan kebudayaan yang dimaksud oleh UU No. 5 Tahun 2017. Karena, masyarakat pun belum secara aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program-program pemajuan kebudayaan.

Banyak masyarakat belum memahami pentingnya melestarikan budaya lokal dan kaitannya dengan kesejahteraan mereka. Apalagi, profesi yang menggeluti objek-objek pemajuan kebudayaan secara umum belum mampu menjadi profesi andalan dalam meningkatkan kesejahteraan.

Selain masalah tersebut, permasalahan terbatasnya anggaran, SDM, dan infrastruktur yang mendukung kegiatan pemajuan kebudayaan menjadi hal yang krusial, berdampak pada tersendatnya upaya-upaya yang dilakukan.

Lanjut baca ke halaman berikutnya …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole