Simfoni Kepentingan: Ketika Kebenaran Mengalun Sumbang

Simfoni Kepentingan: Ketika Kebenaran Mengalun Sumbang
Simfoni Kepentingan: Ketika Kebenaran Mengalun Sumbang

SinergiNews – OPINI. Dalam simfoni kehidupan berbangsa, terkadang kita dihadapkan pada alunan nada yang sumbang. Ketika seorang pemimpin berupaya memainkan melodi perubahan, tak jarang muncul disonansi dari berbagai penjuru. Pertanyaan pun menggelayut: apakah nada yang dimainkan sang pemimpin benar-benar fals, ataukah ada kepentingan tersembunyi yang terusik?

Kasus Gubernur Dedi Mulyadi (KDM) menjadi contoh nyata dari fenomena ini. Ketika beliau mengambil kebijakan tegas untuk membenahi berbagai persoalan, suara-suara sumbang bermunculan. Para pejabat, sastrawan, bahkan tokoh masyarakat, yang sebelumnya bungkam, tiba-tiba bersuara lantang. Mereka menuding kebijakan KDM sembrono, tidak berdasar hukum, bahkan cenderung “main hakim sendiri”.

Namun, mari kita coba menelisik lebih dalam. Pada masa kepemimpinan sebelumnya, berbagai praktik yang merugikan masyarakat seperti study tour berbiaya selangit, pencemaran lingkungan, hingga penjualan lahan untuk kepentingan investor, seolah dibiarkan tanpa koreksi. Mengapa saat itu tak ada orkestra protes yang menggelegar?

Kebijakan pembongkaran bangunan liar, misalnya, menjadi salah satu sasaran kritik. KDM dikenal sebagai sosok yang tak segan turun tangan langsung. Ketika menemukan bangunan atau fasilitas yang jelas-jelas melanggar aturan dan merugikan kepentingan publik, ia bertindak cepat. Sebagian pihak menilai tindakannya tergesa-gesa dan kurang kajian hukum. Namun, di tengah carut-marut penegakan hukum yang seringkali tumpul, bukankah tindakan tegas seperti itu justru dibutuhkan?

Bayangkan, berapa lama lagi masyarakat harus hidup dalam ketidakadilan akibat hukum yang bisa dinegosiasikan, aturan yang bisa diakali, dan pejabat yang menutup mata terhadap penindasan rakyat? KDM, dengan segala kontroversinya, setidaknya berani mengambil risiko untuk menegakkan keadilan.

Praktik study tour yang membebani orang tua siswa juga menjadi sorotan. Di era sebelumnya, program ini berjalan mulus, seolah tak ada yang salah dengan biaya yang mencekik dan potensi penyalahgunaan anggaran. Namun, ketika KDM mempertanyakan motif di balik program ini, suara-suara keberatan pun bermunculan.

Apakah ini benar-benar tentang pendidikan, ataukah ada kepentingan bisnis yang bermain di dalamnya? Hotel-hotel yang kebanjiran tamu, agen perjalanan yang meraup untung, dan oknum-oknum yang memanfaatkan kesempatan, semua mendapat keuntungan dari program ini. Sementara itu, orang tua siswa terpaksa merogoh kocek dalam-dalam, tanpa pilihan selain mengikuti arus.

Persoalan lingkungan hidup juga tak luput dari perhatian. Dana kebersihan terus mengalir, namun kondisi lingkungan tak kunjung membaik. Sungai-sungai tercemar, lahan hijau menyusut, dan para pejabat yang kini lantang mengkritik KDM, dulu seolah bisu.

Lebih ironis lagi, ketika lahan-lahan produktif dijual kepada investor dan berubah menjadi kawasan wisata, mereka pun tetap bungkam. Padahal, dampak alih fungsi lahan terhadap lingkungan hidup sangat nyata. Ke mana perginya para pengamat lingkungan, pengamat sosial, dan budayawan yang kini sibuk mengkritik sang gubernur? Apakah mereka baru peduli ketika kepentingan pribadi atau kelompok mereka terganggu?

Seorang pemimpin yang berani mengambil sikap tegas memang tak akan pernah menyenangkan semua pihak. Semakin banyak pihak yang merasa terusik, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang selama ini berjalan tidak semestinya. KDM, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah membuktikan bahwa ia berani menghadapi kritik, bahkan dari mereka yang dulu diam seribu bahasa saat ketidakadilan merajalela.

Sebagai masyarakat awam, kita hanya bisa berharap agar para pemimpin benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang. Jika ada pejabat atau tokoh yang lebih reaktif terhadap gangguan kepentingan pribadi, namun abai terhadap penderitaan rakyat, maka kita patut mempertanyakan: siapa sebenarnya yang sedang mereka bela?

Dalam simfoni kehidupan berbangsa, mari kita cermati setiap nada yang dimainkan. Jangan biarkan kepentingan pribadi atau kelompok menutupi kebenaran yang sesungguhnya. Mari kita dukung para pemimpin yang berani memainkan melodi perubahan, meski harus menghadapi disonansi dari berbagai penjuru.***

Penulis: Didin Tulus (Penggiat Literasi, tinggal di Kota Cimahi)

Editor: Fajar Budhi W.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole