Ngaji Diri: Ketika Akal Tak Cukup Menjawab

Yoyo C. Durachman
Yoyo C. Durachman

OPINI – Dalam sejarah peradaban manusia, akal menempati posisi yang agung. Akal telah membawa umat manusia menemukan api, menjelajahi ruang angkasa, membangun sistem informasi, bahkan menciptakan kecerdasan buatan yang kini menyamai cara pikir manusia. Namun, di balik semua pencapaian itu, satu hal tetap menggema dari zaman ke zaman: pertanyaan paling mendasar tentang eksistensi manusia.

Pertanyaan seperti “Mengapa aku ada di dunia ini?”, “Untuk apa?”, “Mengapa rupa dan nasib manusia berbeda-beda?”, hingga “Kenapa ada kelahiran dan kematian?”, kerap muncul dalam kesunyian batin yang tak bisa dijawab oleh algoritma atau data statistik. Akal bisa menganalisis, tetapi sering tak mampu menggenapi jawaban-jawaban yang menyentuh makna terdalam kehidupan.

Di sinilah kita perlu melakukan yang dalam budaya spiritual disebut sebagai “Ngaji Diri”. Sebuah laku perenungan terhadap diri sendiri—bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami. Ngaji Diri bukan hanya soal introspeksi moral, tapi juga tentang menyadari keterbatasan akal, dan membuka ruang bagi iman untuk bicara.

Akal memberi kita kerangka berpikir, tetapi iman memberi makna. Ketika akal berhenti di dinding misteri, iman menyusuri lorong yang hanya bisa dilalui oleh hati yang berserah. Sebab dalam iman, pertanyaan bukan lagi harus dijawab, melainkan dipeluk, dimaknai, dan diterima sebagai bagian dari kehendak ilahi yang tak seluruhnya bisa dijelaskan.

Dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya hari ini—yang serba cepat dan penuh distraksi—manusia sering kehilangan ruang untuk bertanya kepada dirinya sendiri. Padahal, di tengah gelombang perubahan, justru Ngaji Diri-lah yang bisa menjadi jangkar. Ia membuat kita kembali sadar bahwa hidup bukan sekadar tentang “bagaimana” dan “seberapa”, tapi juga “mengapa” dan “untuk siapa”.

Kita memang tak selalu mendapatkan semua jawaban. Namun lewat Ngaji Diri, kita belajar bahwa ada kedalaman yang hanya bisa dicapai bukan oleh kecerdasan, tetapi oleh ketulusan dan keikhlasan dalam menerima.

Dan di situlah manusia menemukan dirinya.***

Penulis: Yoyo C. Durachman
Tentang Penulis: Yoyo Cahyo Durachman adalah pakar teater yang berafiliasi dengan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Ia dikenal sebagai mantan akademisi di bidang seni teater dan memiliki pandangan bahwa teater dapat menjadi media alternatif untuk menyampaikan pesan.

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole