Menjadi Terkenal di Era Media Sosial: Antara Panggung Digital dan Tekanan Psikologis

Opini Yoyo C. Durachman
Opini Yoyo C. Durachman

OPINI – Dalam masyarakat digital hari ini, popularitas bukan lagi hasil dari karya panjang dan pencapaian besar semata. Ia bisa diraih dalam waktu singkat, dalam hitungan detik (lewat video viral), gaya hidup mencolok, atau sensasi yang sengaja dibuat. Gelar seperti selebriti, influencer, content creator, hingga YouTuber bukan lagi monopoli segelintir kalangan. Ia kini menjadi fenomena budaya populer yang menjalar luas, bahkan menjadi impian sebagian besar generasi muda.

Namun, menjadi terkenal di era media sosial bukan sekadar soal “diikuti” atau “ditonton”. Di balik algoritma yang mengangkat nama seseorang ke layar jutaan orang, tersembunyi tekanan yang besar untuk terus tampil, terus relevan, dan terus mencuri perhatian. Dalam banyak kasus, muncul semacam ketergantungan terhadap validasi sosial, yang mendorong sebagian orang mengejar popularitas dengan cara yang ekstrem.

Kita dapat menyaksikan berbagai fenomena: penghamburan uang untuk konten yang sensasional, manipulasi realitas demi pencitraan, bahkan tindakan di luar batas hukum demi mempertahankan eksistensi. Tak sedikit pula yang mengalami kelelahan mental, kecemasan, depresi, atau bahkan kehilangan arah setelah popularitas menurun. Fenomena ini menjadi pengingat bahwa panggung media sosial, meski bersinar, menyimpan sisi gelap yang tak jarang menggerus kesehatan jiwa penggunanya.

Dari perspektif kajian budaya populer, ini adalah bentuk baru dari kapitalisme perhatian: manusia menjual citra dirinya, memonetisasi kehidupannya, dan menciptakan “persona digital” yang terkadang jauh dari kenyataan. Media massa dahulu mungkin memberi ruang pada kualitas, tapi media sosial kini cenderung memberi tempat bagi yang paling mencolok dan mudah dibagikan.

Namun, kita juga tak boleh men-generalisasi. Tidak semua yang terkenal di media sosial hidup dalam narsisme atau megalomania. Banyak pula yang menjadikan popularitas sebagai alat untuk membangun gerakan sosial, berbagi ilmu, menyuarakan keadilan, atau sekadar menghibur dengan cara yang sehat. Perbedaan mendasarnya terletak pada kesadaran: apakah popularitas dikelola sebagai sarana, atau justru menjadi tujuan yang membutakan?

Di tengah arus ini, penting bagi kita (baik sebagai penonton, pelaku, maupun pembuat kebijakan) untuk memahami fenomena ini secara lebih kritis. Pendidikan literasi digital, pendampingan psikososial, hingga penguatan karakter di ruang publik digital menjadi hal yang mendesak.

Karena pada akhirnya, menjadi terkenal memang menggoda, tapi menjadi sehat, secara mental, moral, dan sosial, jauh lebih penting. Dan itu tak akan pernah ditentukan oleh jumlah “likes” atau “followers”.***

Penulis: Yoyo C. Durachman.

Tentang penulis: Pemerhati budaya populer dan seni pertunjukan, aktif dalam pendidikan seni dan diskusi lintas budaya di berbagai forum.

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole