Anak sebagai Cahaya, Suara Sunyi dari Masa Depan

Hermana HMT Ajak Kota Cimahi Menenun Strategi Budaya Berbasis Anak

Anak-naka Kota CImahi sedang memainkan permainan tradisional - Foto Istimewa.
Anak-naka Kota CImahi sedang memainkan permainan tradisional - Foto Istimewa.

SinergiNews – Kota Cimahi. Di tengah kota yang terus bergerak menuju digitalisasi, dengak dnegan gedung-gedung Pemerintah Kota Cimahi yang menjulang dan lalu lintas data yang tak pernah tidur, ada satu suara yang bersikeras menoleh ke akar. Suara itu datang dari Hermana HMT, budayawan, penggerak masyarakat adat, pendidik kebudayaan , sekaligus salah satu aktivis yang aktif menyoal strategi budaya Kota Cimahi. Dalam tulisannya yang menggugah berjudul “Anak sebagai Pewaris Masa Depan Kebudayaan Kota Cimahi”, ia menyerukan sesuatu yang tampak sederhana, tapi kerap diabaikan: tempatkan anak di pusat strategi kebudayaan, bukan di pinggirannya.

Hermana menyebut anak sebagai “pewaris senyap yang menanti dibangunkan oleh panggilan kebudayaan.” Bila kita abai, warisan budaya akan putus di satu generasi. Maka ia tak lelah menegaskan bahwa strategi budaya tidak bisa hanya menyoal program, aset, atau peristiwa, tetapi harus menyoal siapa yang akan hidup bersama budaya itu di masa depan. Dan jawabannya, tentu, anak-anak.

“Anak bukan hanya target audiens. Mereka adalah ruang hidup masa depan dari budaya hari ini,” tulisnya dalam pembukaan dokumen itu.

Dalam pandangannya, anak memiliki dua posisi strategis sekaligus rapuh: sebagai objek pewarisan dan sebagai subjek penemuan jati diri. Budaya, dalam hal ini, adalah medium antara dunia-dunia, antara masa lalu yang terwariskan dan masa depan yang akan mereka bentuk sendiri. Maka ketika anak tidak ada penyentuhan secara penuh dengan budaya lokal, ia tumbuh tanpa bahasa ibu batiniah, tanpa citra tentang siapa dirinya, tanpa pengenalan akan asal-usul ruang hidupnya.

Anak Minim Literasi Budaya

Hermana mencontohkan bagaimana banyak anak di Cimahi bahkan tak pernah menyaksikan pertunjukan seni tradisional secara langsung. Tidak mengenal legenda lokal, tidak akrab dengan permainan rakyat, bahkan tidak menguasai bahasa Sunda secara lisan. “Kita tak bisa bicara pemajuan kebudayaan kalau anak-anak kita justru kehilangan perjumpaan dengan kebudayaan itu sendiri,” katanya tegas.

Menurutnya, strategi kebudayaan daerah harus menjadikan anak sebagai elemen kunci, bukan sebagai pelengkap. Ia mengusulkan agar pembangunan kebudayaan ke depan memuat indikator budaya ramah anak: dari kurikulum sekolah yang mewadahi ekspresi budaya lokal secara otentik, hingga ruang publik yang memungkinkan anak bermain dan berimajinasi dengan kekayaan lokal.

Lebih dari itu, Hermana melihat keluarga sebagai simpul pertama. “Keluarga adalah benteng dan jembatan,” ucapnya. Jika ayah dan ibu tak menyanyikan lagu daerah kepada anaknya, jika dongeng nenek tentang Sangkuriang atau Ciung Wanara tidak pernah terceritakan sebelum tidur, maka identitas hanya akan menjadi mata pelajaran, bukan pengalaman batin.

Dalam konteks ini, Hermana tak menolak digitalisasi. Justru ia mengusulkan pendekatan hibrid: memadukan budaya lokal dengan sarana digital yang dekat dengan dunia anak-anak hari ini. Permainan edukatif, animasi cerita rakyat, platform digital lokal, semua bisa menjadi instrumen, selama tidak mengorbankan ruh budayanya. “Anak-anak kita adalah digital native. Kita yang harus kreatif menjangkau mereka dengan narasi leluhur,” ungkapnya.

Baginya, ini bukan hanya soal mengajarkan budaya. Ini soal membangun kesadaran bahwa budaya adalah alat berpikir, bukan sekadar warisan. “Anak-anak tidak hanya perlu tahu apa itu kebaya atau angklung, mereka perlu tahu makna di baliknya. Mereka perlu tahu bahwa semua itu adalah jawaban terhadap pertanyaan: siapa aku dan dari mana aku berasal?”

Pentingnya Inklusifitas Program

Hermana juga menyinggung pentingnya inklusi. Anak berkebutuhan khusus, anak dari keluarga marginal, dan anak-anak dengan latar beragam harus mendapat ruang yang adil dalam kebijakan budaya. Baginya, budaya adalah ruang penyatuan, bukan eksklusivitas. “Jangan wariskan budaya hanya untuk yang mampu tampil. Wariskan juga untuk yang hanya mampu merasa.”

Dalam tulisannya yang kental akan keprihatinan sekaligus harapan, Hermana juga menyinggung visi besar Indonesia Emas 2045. Ia memperingatkan bahwa tanpa fondasi budaya yang kokoh, pembangunan hanyalah menara tanpa akar. Ia menggambarkan masa depan tanpa strategi budaya anak sebagai “gerbong kereta cepat tanpa masinis yang tahu arah.”

“Kalau kita bicara Indonesia Emas 2045, tapi anak-anak hari ini tidak punya akar budaya, maka kita sedang membangun istana dari pasir,” tulisnya lugas.

Sebagai penutup, Hermana melemparkan refleksi yang menggugah:

“Kita sering bicara bahwa anak adalah masa depan. Tapi mengapa masa depan itu tidak kita rancang bersama mereka hari ini? Mengapa suara anak masih jarang dijadikan kompas arah dalam kebijakan budaya kita?”

Hari ini, suara Hermana mungkin terdengar lirih di antara riuhnya pembangunan infrastruktur dan transformasi digital. Tapi dari suara lirih itulah masa depan bisa mempertimbangkan kembali secara arif. Dari sanalah kita bisa mulai merancang kebudayaan yang tak hanya hidup di masa lalu, tapi juga bernapas dalam masa depan.

Dan semuanya, harus memulainya dari anak.***

Narasumber:
Hermana HMT – (Pelaku budaya Kota Cimahi, Ketua Yayasan Kebudayaan Bandoeng Mooi Kota Cimahi dan anggota Dewan Cimahi Smart City

Reporter: Dadan Kurnia

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole