Bara, Legitimitasi, dan Jalan Keadilan

Oleh: Fajar Budhi WIbowo - Bara, Legitimitas, dan Jalan Keadilan: Tunjangan parlemen memantik amarah publik

Ilustrasi aksi mahasiswa - Foto: tirto.id andrey gromico
Ilustrasi aksi mahasiswa - Foto: tirto.id andrey gromico

Suara Generasi Muda untuk Perubahan Sistemik

Mahasiswa Indonesia tidak hanya menjadi penggerak unjuk rasa, tetapi juga perumus visioner yang mengartikulasikan tuntutan perubahan sistemik secara konkret. Bersama buruh, aktivis, dan kelompok masyarakat sipil lainnya, mereka menyatukan suara dalam “17+8 Tuntutan Rakyat”. Rancangan tuntutan harapannya untuk menjawab akar ketidakadilan. Tuntutan ini terbagi dalam dua fase waktu. Ada deadline pendek hingga 5 September 2025 dan deadline panjang hingga 31 Agustus 2026. Sehingga hal itu mencerminkan strategi yang terukur dan berkelanjutan.

Dalam daftar tuntutan, mahasiswa menekankan agenda seperti RUU Perampasan Aset, tunjangan DPR yang berlebihan, KPI kinerja legislatif, serta audit BUMN. Isu keadilan sosial seperti upah layak, perlindungan pekerja, serta penghapusan pensiun seumur hidup pejabat juga menjadi bagian integral. Di Yogyakarta, mahasiswa menuntut presiden bertanggung jawab atas tingginya pengangguran muda, menegaskan bahwa tidak boleh ada lagi pengabaian suara generasi muda.

Yang membedakan gerakan ini adalah pendekatan yang holistik dan terstruktur. Mereka tidak hanya menuntut perubahan kebijakan, tetapi juga mengajukan mekanisme penegakan yang jelas, seperti pembubaran DPR jika ada pengabaian tuntutan. Dengan menggabungkan isu anti-oligarki, keadilan ekonomi, dan hak demokratis, protes mahasiswa menjadi gerakan moral dan intelektual yang sulit terbantahkan. Tuntutan mereka bukan sekadar daftar keluhan, melainkan peta jalan menuju Indonesia yang lebih adil dan inklusif.

Antara Respons Politik dan Tuntutan Perubahan Struktural

Sebagai respons terhadap tekanan massa, pemerintah mengumumkan moratorium tunjangan parlemen dan berjanji melakukan audit publik terhadap anggaran DPR. Langkah ini berhasil meredakan ketegangan politik dalam jangka pendek. Menskipun, hal ini masih mendapatkan tanggapan skeptis oleh banyak kalangan yang menganggapnya sebagai konsesi simbolis belaka. Para pengkritik argues bahwa kebijakan ini hanya menyentuh permukaan masalah tanpa menyelesaikan akar ketidakadilan yang menjadi penyebab utama protes.

Meskipun demikian, langkah ini membuka peluang untuk mendorong agenda reformasi yang lebih substantif. Rekomendasi kebijakan terfokus pada reformasi fiskal yang berkeadilan, penguatan jaring pengaman sosial, dan transparansi anggaran yang lebih ketat. Reformasi birokrasi juga menjadi agenda penting untuk memulihkan legitimasi pemerintahan yang terkikis.

Namun, efektivitas kebijakan ini akan sangat bergantung pada implementasi yang konsisten dan komitmen politik yang kuat. Tanpa tindak lanjut yang konkret, konsesi simbolis justru berisiko memperdalam krisis kepercayaan publik. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengikuti langkah awal ini dengan reformasi struktural yang menyentuh jantung permasalahan.

Agenda Konkret Menuju Resolusi

Pemerintah perlu membentuk komisi investigasi independen yang terdiri dari pakar forensik, hukum, dan HAM terpercaya untuk menyelidiki setiap insiden kekerasan. Komisi ini harus mempublikasikan laporan interim dalam 14-21 hari kerja dengan menjamin transparansi proses dan temuan investigasi. Selain itu, hasil audit anggaran DPR harus terbuka secara lengkap dalam format machine-readable. Hal tersebut agar masyarakat dapat mengakses dan menganalisis detail tunjangan secara mandiri.

Untuk mengatasi akar masalah ekonomi, pemerintah perlu menyusun paket perlindungan pekerja informal program padat karya, dan jaminan kesehatan darurat. Di sisi tata kelola demokrasi, revisi prosedur unjuk rasa harus memprioritaskan pendekatan de-eskalasi dan pelatihan HAM intensif bagi aparat kepolisian.

Pemfasilitasian mekanisme negosiasi juga harus melibatkan perwakilan ad-hoc dengan pengakuan kedua belah pihak, penyertaan tenggat waktu jelas untuk setiap proses. Langkah ini menjadi tes kredibilitas pemerintah, juga batu ujian bagi komitmen semua pihak dalam mentransformasi tuntutan jalanan menjadi perubahan sistematis.

Stabilitas Domestik sebagai Pondasi Kekuatan Regional

Konflik internal yang berkepanjangan berpotensi mempengaruhi posisi strategis Indonesia di mata investor regional dan mitra internasional. Ketidakpastian politik dan sosial dapat menurunkan sentimen investasi, mengganggu stabilitas makroekonomi, serta mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi. Penyelesaian konflik secara cepat dan proporsional bukan hanya merupakan kebutuhan domestik, juga menjadi syarat penting untuk mempertahankan kredibilitas internasional.

Respons pemerintah yang tepat dan terukur akan mengurangi risiko intervensi asing serta memperkuat otonomi negara dalam menentukan kebijakan luar negeri. Sementara itu, kebijakan proaktif untuk memperkuat ketahanan sosial melalui reformasi struktural akan meningkatkan resilience Indonesia dalam menghadapi dinamika geopolitik global. Dengan demikian, proses rekonsiliasi domestik tidak hanya memiliki dimensi sosial-politik, tetapi juga nilai strategis dalam memperkuat posisi tawar Indonesia.

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole