Kuala Lumpur, 6 Juli 2025
Sebuah video pendek menampilkan seorang guru sekolah menengah di Malaysia memarahi murid-muridnya karena terlalu sering menggunakan kosakata Bahasa Indonesia dalam tugas Bahasa Melayu. Video itu viral di TikTok dan X, memicu debat panjang soal pengaruh budaya digital Indonesia terhadap bahasa lokal di negara tetangga.
Dalam video berdurasi 53 detik itu, sang guru terlihat emosi saat membacakan hasil tugas siswa. Ia menyebut bahwa kata-kata seperti “melakukan”, “berkumpul”, dan “menghapus” bukan kosakata yang lazim dalam Bahasa Melayu Malaysia.
“Ini bukan tugas Bahasa Indonesia! Ini Bahasa Melayu. Tolong jaga identiti bahasa kita!” ucap sang guru dalam video tersebut.
Warganet di Malaysia terbelah. Ada yang mendukung guru tersebut sebagai bentuk kepedulian terhadap bahasa nasional, namun ada juga yang menilai bahwa penggunaan kosakata Indonesia adalah hal wajar di era globalisasi, terutama karena tingginya konsumsi konten Indonesia seperti sinetron, YouTube, dan lagu.
“Anak-anak sekarang lebih kenal ‘melakukan’ daripada ‘melaksanakan’, karena tiap hari nonton YouTuber Indonesia,” tulis akun @nadirah.my.
Di Indonesia, reaksi justru bernada bangga. Banyak yang menyebut hal ini sebagai bentuk nyata dari soft power budaya digital Indonesia yang semakin dominan di Asia Tenggara.
Namun, dosen linguistik dari Universiti Kebangsaan Malaysia, Prof. Azhar Salleh, mengingatkan bahwa fenomena ini harus dilihat sebagai tantangan dalam pelestarian bahasa nasional. “Konten Indonesia sangat masif. Kita butuh pendekatan kreatif agar Bahasa Melayu tetap hidup tanpa menyalahkan generasi muda,” ujarnya.***













