17 Oktober Disahkan Jadi Hari Kebudayaan Nasional Indonesia

Pemerintah tetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Momentum ini sarat makna sejarah dan kontroversi, diharapkan memperkuat jati diri bangsa Indonesia.

Hasan Nasbi menegaskan Hari Kebudayaan 17 Oktober ditetapkan atas dasar historis, bukan terkait ulang tahun Prabowo. (Kantor Komunikasi Kepresidenan RI)
Hasan Nasbi menegaskan Hari Kebudayaan 17 Oktober ditetapkan atas dasar historis, bukan terkait ulang tahun Prabowo. (Kantor Komunikasi Kepresidenan RI)

Jakarta – SinergiNews. Sebuah babak baru tercatat dalam perjalanan kebudayaan Indonesia. Pada awal Juli 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon resmi mengumumkan penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan No. 162/M/2025, sehingga tanggal itu menjadi simbol penghormatan terhadap keberagaman budaya di Nusantara.

Pemilihan tanggal tersebut tidak dilakukan secara serampangan. Fadli Zon menjelaskan bahwa 17 Oktober 1951 merupakan hari diresmikannya Lambang Negara Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Garuda tidak hanya menjadi simbol negara. Ia merepresentasikan kekuatan dan persatuan Indonesia. Dari Aceh hingga Papua, lambang itu merekatkan ribuan pulau dan ratusan etnis dalam satu nafas bangsa.

“Kita ingin mengembalikan ingatan masyarakat kepada akar bangsa,” ujar Fadli Zon.

Penetapan Hari Kebudayaan Nasional bukan sekadar seremoni. Sebaliknya, ini menjadi ruang kontemplasi. Ruang bagi bangsa ini untuk kembali menelusuri jejaknya di tengah arus globalisasi.

Di balik pernyataan itu, tersemat harapan besar. Kebudayaan Indonesia harapannya tidak hanya pelestarian, namun juga hidup dalam keseharian masyarakatnya. Oleh sebab itu, peringatan tahunan ini akan terisi oleh berbagai festival seni, lokakarya, serta pertunjukan yang merayakan keberagaman.

Kontroversi Tanggal Sakral dan Respons Pemerintah

Sayangnya, keputusan tersebut memicu kontroversi di tengah masyarakat. Beberapa kalangan menyoroti kenyataan bahwa 17 Oktober juga merupakan tanggal kelahiran Presiden Prabowo Subianto. Tuduhan tentang adanya motif politis di balik penetapan ini pun bermunculan. Apalagi, dalam sejarah bangsa, politik kerap meminjam simbol budaya demi kepentingannya.

Meski demikian, Fadli Zon membantah keras dugaan tersebut. Menurutnya, penetapan tanggal ini sepenuhnya berdasarkan kajian sejarah, bukan kebetulan politis. Penegasan hal serupa oleh Kantor Staf Presiden dan pihak Istana Negara.

“Negara ini bukan milik satu nama. Ini keputusan untuk seluruh rakyat Indonesia,” ujar juru bicara Istana.

Di sisi lain, Ketua DPR Puan Maharani meminta klarifikasi lebih rinci dari Kementerian Kebudayaan. Ia menegaskan bahwa Hari Kebudayaan harus menjadi milik bersama. Agar tidak muncul sekat-sekat persepsi di tengah masyarakat, pemerintah perlu menjelaskan dasar akademik dari penetapan tanggal tersebut.

Sementara itu, para budayawan dan akademisi menunjukkan sikap lebih moderat. Tim Garuda Sembilan dari Yogyakarta, yang turut menginisiasi Hari Kebudayaan Nasional, menyatakan dukungannya. Menurut mereka, tanggal 17 Oktober adalah momentum strategis untuk menghidupkan kembali “roh sejarah” yang mulai memudar.

Hari Kebudayaan Nasional sebagai Napas Identitas Bangsa

Daerah-daerah tentu akan mengiapkan agenda perayaan. Pemerintah provinsi dan lembaga budaya mulai menyusun kegiatan seperti parade musik tradisional, festival kuliner, hingga pameran seni rupa. Dengan demikian, Hari Kebudayaan Nasional harapannya tidak hanya menjadi acara seremonial. Sebaliknya, ia menjadi ruang ekspresi nyata bagi komunitas budaya di seluruh penjuru negeri.

Momentum ini juga menjadi ajakan kepada generasi muda. Di tengah era digital dan modernisasi, Hari Kebudayaan Nasional diharapkan menjadi pengingat bahwa kebudayaan adalah napas bangsa. Tradisi tidak sekadar masa lalu. Sebaliknya, ia adalah benih masa depan. Dengan kebudayaan, masyarakat Indonesia dapat membangun identitas sekaligus menjawab tantangan global.

Demikianlah, pada 17 Oktober nanti, bukan sekadar gelaran festival, melainkan, bentangan harapan. Setiap sulaman kain batik, di tiap denting gamelan, Indonesia hendak mengingatkan: kita bukan hanya negeri pada peta, melainkan kisah panjang yang tertulis bersama.***

Jurnalis: Dadan Kurnia

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole