Sunda Wiwitan: Menjaga Napas Leluhur Sunda

Sunda Wiwitan: Menjaga Napas Leluhur Sunda
Sunda Wiwitan: Menjaga Napas Leluhur Sunda

Oleh: Tim SinergiNews – 23 Maret 2025

Di tengah perbukitan Kuningan dan hutan Kanekes, Sunda Wiwitan hidup sebagai warisan spiritual masyarakat Sunda. Kepercayaan ini, yang mengakar pada penghormatan kepada Sang Hyang Kersa dan leluhur, menawarkan pelajaran tentang harmoni dengan alam. Bagaimana Sunda Wiwitan bertahan di tengah tantangan modern 2025?

Akar Sejarah: Warisan Purba Sunda

Sunda Wiwitan, yang berarti “Sunda awal,” adalah kepercayaan asli masyarakat Sunda yang telah ada sebelum masuknya Hindu dan Islam (Wikipedia, 2010). Penganutnya, seperti masyarakat Baduy di Kanekes, Lebak, Banten, dan komunitas di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, menegaskan bahwa kepercayaan ini adalah cara hidup leluhur mereka (The Jakarta Post, 2018). Kitab suci mereka, Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Kropak 630, Perpustakaan Nasional Indonesia), berisi ajaran moral dan spiritual sejak zaman Kerajaan Sunda.

Menurut Pangeran Djati Kusumah, pimpinan Akur Sunda Wiwitan Cigugur, kepercayaan ini menuntun kesadaran spiritual terhadap kekuatan alam dan leluhur (CRCS UGM, 2015). Pada 2017, Sunda Wiwitan diakui sebagai aliran kepercayaan oleh Kemendikbud, memperjuangkan status “Kepercayaan” di KTP (Neliti, 2020).

Ajaran: Harmoni Manusia dan Alam

Sunda Wiwitan memuja Sang Hyang Kersa, Tuhan Yang Maha Esa, yang bersemayam di Buana Nyungcung, alam tertinggi dalam kosmologi Sunda (ResearchGate, 2022). Kepercayaan ini mengenal tiga alam: Buana Nyungcung (tempat Tuhan), Buana Panca Tengah (dunia manusia), dan Buana Larang (alam bawah). Ajaran utamanya berpusat pada Cara Ciri Manusia (welas asih, tata krama, budi bahasa) dan Cara Ciri Bangsa (rupa, adat, bahasa), yang menekankan keseimbangan antara individu dan komunitas (Wikipedia, 2010).

Ritual seperti Seren Taun, perayaan panen tahunan, mencerminkan rasa syukur dan penghormatan terhadap alam. “Kami tidak menyembah api atau batu, tetapi menghormati Tuhan melalui alam,” ujar Dewi Kanti Setianingsih, aktivis kebebasan berkeyakinan, menanggapi miskonsepsi (The Jakarta Post, 2018).

Kegiatan: Menjaga Tradisi

Penganut Sunda Wiwitan di Kanekes, Ciptagelar, dan Cigugur melaksanakan ritual seperti olah rasa (meditasi subuh dan petang) dan kidung (tarian suci) (Merdeka.com, 2020). Upacara Seba Baduy di Kanekes merupakan wujud penghormatan kepada leluhur dan pemerintah (ResearchGate, 2022). Pada 2024, komunitas Cigugur menggelar pameran budaya untuk mempromosikan Seren Taun, menarik wisatawan.

Namun, tantangan tetap ada. Pada Juli 2020, pemakaman Sunda Wiwitan di Kuningan disegel karena dianggap tugu tanpa izin (Wikipedia Indonesia, 2006). “Itu bukan tugu, tetapi makam leluhur kami,” kata Juwita Djati Kusuma Putri, tokoh Sunda Wiwitan (Wikipedia Indonesia, 2006).

Tantangan: Diskriminasi dan Modernisasi

Sunda Wiwitan menghadapi diskriminasi, seperti penyegelan makam di Kuningan (2020) dan pelarangan Seren Taun pada 1982–1999 (CRCS UGM, 2015). Pada 2023, Setara Institute mencatat 47 kasus pelanggaran kebebasan berkeyakinan di Jawa Barat, termasuk terhadap Sunda Wiwitan. Urbanisasi juga mengurangi minat generasi muda, meskipun komunitas seperti Akur Sunda Wiwitan Cigugur aktif memperjuangkan pengakuan (Neliti, 2020).

Adaptasi dilakukan melalui platform digital. Pada 2025, komunitas Cigugur meluncurkan kampanye media sosial untuk edukasi budaya, menjangkau diaspora Sunda.

Refleksi: Sunda Wiwitan dan Identitas Sunda

Fajar Budhi Wibowo, penggiat budaya Kota Cimahi dari Pusat Studi Budaya dan Sejarah Sanghyang Hawu, memandang Sunda Wiwitan sebagai nyanyian purba yang mengalir dalam darah Sunda, sebuah simfoni spiritual yang tak lekang oleh waktu. “Sunda Wiwitan bukan sekadar kepercayaan, melainkan lukisan hidup kosmologi Sunda. Ritual Seren Taun adalah tarian syukur yang merangkai petani, sawah, dan Sang Hyang Kersa dalam harmoni suci. Seba Baduy adalah ziarah jiwa, di mana langkah kaki penganut di hutan Kanekes menjadi doa untuk keseimbangan alam dan leluhur. Ini bukan ritual kuno yang beku, melainkan cerminan cara orang Sunda memahami alam semesta, tiga lapis dunia, dari Buana Nyungcung hingga Buana Larang, yang mengajarkan kita untuk hidup selaras, bukan menaklukkan,” ujarnya dengan mata berbinar, seolah menelusuri hutan Kanekes dalam kata-katanya.

Fajar melanjutkan, “Dari sisi budaya, Sunda Wiwitan adalah intan permata identitas Sunda. Ajaran Cara Ciri Manusia, welas asih, tata krama, budi bahasa, dan Cara Ciri Bangsa, rupa, adat, bahasa, adalah kompas moral yang relevan di tengah gempuran modernitas. Ketika penganut di Cigugur menari kidung atau bermeditasi dalam olah rasa, mereka tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menghidupkan puisi leluhur yang berbisik tentang kebersamaan. Sunda Wiwitan mengajarkan bahwa kebhinekaan adalah mozaik, bukan retakan. Di tengah dunia yang serba cepat, mereka mengingatkan kita untuk berhenti, mendengar suara angin, dan menghormati tanah yang kita pijak.”

Dinamika Sunda Wiwitan

Namun, Fajar menegaskan bahwa perjalanan Sunda Wiwitan tidak selalu mulus. “Tantangan diskriminasi adalah duri yang masih menusuk. Penyegelan makam di Kuningan pada 2020 atau pelarangan Seren Taun di masa lalu adalah luka nyata. Miskonsepsi bahwa penganut menyembah batu atau api menunjukkan betapa kita sering gagal memahami. Ini bukan soal keyakinan yang ‘berbeda,’ tetapi soal hak untuk bernapas dalam warisan leluhur. Sunda Wiwitan menjawab dengan ketabahan, kampanye digital mereka di 2025, seperti yang dilakukan komunitas Cigugur, adalah teriakan lembut di dunia maya, mengajak generasi muda mendengar cerita Sangkuriang bukan sekadar dongeng, tetapi sebagai cerminan kosmos,” katanya, suaranya mengalun penuh harap.

Fajar menambahkan, “Potensi wisata edukasi dari Sunda Wiwitan adalah harta karun. Bayangkan para pelancong menyaksikan Seren Taun di Ciptagelar, mendengar tarawangsa di Cigugur, atau berjalan bersama Baduy dalam Seba. Ini bukan sekadar pariwisata, tetapi perjalanan menuju hati Sunda. Namun, untuk mewujudkannya, kita perlu edukasi yang tak kenal lelah, sekolah harus mengajarkan kearifan ini, pemerintah harus melindungi situs suci, dan masyarakat harus belajar bahwa keyakinan lain adalah saudara, bukan musuh. Sunda Wiwitan adalah cermin: ia menunjukkan siapa kita, dan mengajak kita menjadi lebih baik.”

Menyala dalam Harmoni

Sunda Wiwitan, dengan napas leluhurnya, terus menjaga harmoni di tengah modernitas. Dari Kanekes hingga Cigugur, mereka mengajarkan bahwa menghormati alam adalah menghormati Tuhan. Akankah generasi muda melanjutkan warisan ini?

Catatan Redaksi: Artikel ini disusun berdasarkan data dari Ensiklopedi Kepercayaan (2006), Kemendikbud (2017), The Jakarta Post (2018), Merdeka.com (2020), Kompas.id (2025), dan wawancara dengan Dewi Kanti Setianingsih (The Jakarta Post, 2018) serta Juwita Djati Kusuma Putri (Wikipedia Indonesia, 2006). Sinerginews.co.id berkomitmen mempromosikan budaya Indonesia.

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole