Ciburial: Merawat Tradisi dengan Hati di Kaki Gunung Papandayan

Ciburial: Merawat Tradisi dengan Hati di Kaki Gunung Papandayan

Oleh: SinergiNews – 25 Februari 2024

Di kaki Gunung Papandayan yang tenang dan berhawa sejuk, berdiri sebuah kampung kecil yang tak pernah lelah berbicara tentang akar. Namanya Kampung Budaya Ciburial, berada di Desa Sukalaksana, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut. Bukan kampung adat dalam pengertian tertutup, tapi kampung yang membuka pintunya lebar-lebar untuk siapa saja yang ingin belajar, hidup, dan menghargai warisan budaya Sunda.

Ciburial adalah ruang di mana masa lalu dan masa kini bersalaman—tempat di mana arumba dan podcast budaya bisa berdampingan, di mana dodol garut dan diskusi kosmologi Sunda sama-sama disuguhkan hangat.

“Ciburial tidak sedang mencoba menjadi masa lalu. Mereka hanya ingin budaya tidak lenyap di hadapan anak-anak kami,” ungkap Fajar Budhi Wibowo, budayawan asal Cimahi yang sering menjadi fasilitator kebudayaan di sana.

Asal-usul Nama dan Semangat

Nama “Ciburial” diambil dari kata “ci” (air) dan “burial” (berkilau/bersinar). Filosofinya sederhana tapi dalam: air yang jernih akan memantulkan cahaya, sebagaimana budaya yang dijaga dengan bersih akan tetap memberi terang bagi masyarakatnya.

Kampung ini dirintis oleh komunitas lokal yang resah akan semakin lunturnya identitas budaya. Mereka membentuk Paguyuban Ciburial sejak awal 2000-an, dengan cita-cita membangun kampung yang bukan hanya tempat tinggal, tapi ruang belajar bersama untuk anak-anak, pemuda, bahkan wisatawan.

Hidup yang Membudaya, Bukan Sekadar Mempertontonkan Budaya

Tak seperti kampung budaya yang hanya menjadi panggung tontonan, Ciburial menjadikan budaya sebagai napas sehari-hari. Aktivitas bertani, memasak, membatik, dan menyanyikan lagu tradisional dilakukan bukan karena ada pengunjung, tetapi karena memang begitu cara mereka hidup.

Di Ciburial, padi tidak hanya ditanam, tapi dimuliakan. Makanan tidak hanya dikonsumsi, tapi juga dibacakan doanya. Musik tidak hanya dimainkan, tapi juga diajarkan kepada anak-anak sebagai bagian dari warisan.

“Budaya bukan untuk difoto saja. Ia harus dipraktikkan—di tangan, di lidah, di hati,” kata Fajar sambil menunjukkan sudut saung tempat anak-anak berlatih karinding setiap sore.

Pentas, Pangan, dan Pendidikan

Ada tiga pilar utama di Ciburial: pentas seni, ketahanan pangan lokal, dan pendidikan budaya.

  1. Pentas seni bukan hanya Jaipong dan Angklung, tapi juga ngadongeng, ngabodor, dan pupuh. Seni dipentaskan untuk merawat memori, bukan sekadar hiburan.
  2. Ketahanan pangan dibangun lewat gerakan tanam bersama, kuliner lokal, dan pemanfaatan kebun pekarangan. Dodol, keripik, sambel goang, bahkan teh sereh khas kampung dibuat dan dijual langsung oleh warga.
  3. Pendidikan budaya menyasar anak-anak dan remaja melalui kelas pangsi, kelas aksara Sunda, lokakarya wayang bambu, hingga literasi sejarah lokal.

Anak-anak Ciburial tumbuh tidak hanya dengan gadget, tetapi juga dengan cerita karuhun, petuah, dan pengetahuan lokal yang membuat mereka paham dari mana mereka berasal.

Teknologi sebagai Sekutu, Bukan Ancaman

Alih-alih alergi pada digitalisasi, Ciburial memilih strategi “ngamumule budaya digital”—yakni mendokumentasikan praktik budaya lewat kanal YouTube, Instagram, hingga membuat podcast berbahasa Sunda untuk generasi muda.

“Kalau kita hanya melestarikan budaya secara luring, kita bisa kalah cepat. Budaya harus bisa bersuara juga di ruang digital,” jelas Fajar.

Pemuda kampung menjadi motor penggerak media sosial, membuat konten informatif dan jenaka tentang makanan khas, kesenian, filosofi adat, hingga etika sosial Sunda dalam bentuk yang mudah dicerna audiens modern.

Wisata Edukatif yang Beretika

Pengunjung Ciburial tidak dilayani sebagai turis, melainkan sebagai tamu budaya. Paket-paket wisata edukatif disusun agar memberi pengalaman langsung: menginap di rumah warga, belajar bertani, membuat kerajinan, atau mengikuti upacara adat seperti Mapag Sri dan Ngabako.

Tamu wajib mengikuti tata krama kampung, mulai dari bahasa, cara makan, hingga larangan-larangan tertentu seperti tidak membuang sampah sembarangan atau mengganggu waktu ibadah.

“Kami bukan destinasi hiburan. Kami ruang belajar. Kalau datang ke sini, siap-siap diajak mikir dan merasa,” kata seorang pengelola muda dengan nada bersahabat.

Antara Gunung, Air, dan Doa

Dikelilingi oleh Gunung Papandayan dan Gunung Guntur, serta dialiri oleh mata air alami, Ciburial adalah tempat yang secara geografis dan spiritual terasa teduh dan bersih. Tak heran jika beberapa komunitas lintas kepercayaan, seniman, dan akademisi kerap menjadikan kampung ini sebagai tempat kontemplasi budaya.

“Ada rasa tenang yang tidak bisa dijelaskan dengan logika saat kita menginjakkan kaki di sini. Seolah kita pulang, meski tak pernah lahir di kampung ini,” ujar Fajar.

Harapan yang Ditanam dan Dirawat

Ciburial adalah potret kecil dari harapan besar: bahwa budaya tidak akan punah jika ditanam di hati, bukan sekadar di panggung. Kampung ini bukan hanya melestarikan masa lalu, tapi menyiapkan generasi masa depan yang tahu cara menghormati akar sambil menumbuhkan cabang.

“Ciburial tidak menunggu budaya dilestarikan negara. Mereka bergerak duluan, karena kita tahu: kalau bukan kita, siapa lagi?” tutup Fajar.


Catatan Redaksi:
Kampung Budaya Ciburial terbuka untuk kunjungan institusi pendidikan, komunitas, maupun wisatawan umum. Disarankan menghubungi pengelola terlebih dahulu melalui laman resmi atau media sosial mereka. Datanglah dengan hati terbuka, pulanglah dengan nilai yang dibawa.

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole