Ciptagelar: Menjaga Nadi Tradisi di Pelosok Sukabumi

Ciptagelar: Menjaga Nadi Tradisi di Pelosok Sukabumi
Ciptagelar: Menjaga Nadi Tradisi di Pelosok Sukabumi

SinergiNews – 28 Januari 2024

Terletak di lereng Gunung Halimun, kawasan yang diselimuti hutan lindung dan kabut pagi yang tebal, Kampung Adat Ciptagelar berdiri sebagai benteng terakhir nilai-nilai budaya Sunda yang lestari. Meski terpencil di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Ciptagelar justru menjadi magnet bagi para peneliti, budayawan, dan pelancong budaya yang ingin merasakan denyut kehidupan masyarakat adat yang menolak tunduk pada komersialisasi zaman.

Sejak didirikan kembali pada tahun 2001 sebagai lanjutan dari Kasepuhan Gede, Ciptagelar berkembang menjadi komunitas mandiri yang memadukan adat agraris Sunda Wiwitan, spiritualitas kosmologis, dan teknologi modern yang dikendalikan oleh nilai. Kampung ini dipimpin oleh Abah Ugi Suhendi, generasi ke-13 dari garis kasepuhan, yang mengemban tanggung jawab menjaga harmoni antara manusia, alam, dan leluhur.


Hidup Bersama Alam, Bertani Tanpa Pasar

Salah satu nilai utama Ciptagelar adalah tatanén—sistem pertanian padi yang tak mengenal pupuk kimia, traktor, atau irigasi beton. Padi hanya ditanam setahun sekali dan tidak diperjualbelikan. Semua hasil panen disimpan dalam lumbung-lumbung tradisional (leuit) dan dibagikan untuk konsumsi bersama.

Menurut Fajar Budhi Wibowo, budayawan dari Kota Cimahi sekaligus peneliti di Pusat Studi Budaya dan Sejarah Sanghyang Hawu, sistem pertanian ini bukan hanya soal teknik, tapi mencerminkan pandangan dunia tentang hidup berkelimpahan tanpa kerakusan.

“Ciptagelar mengajarkan kepada kita bahwa kemandirian pangan tidak harus bergantung pada subsidi atau pasar. Mereka hidup dari tanah dengan rasa hormat dan tidak mengurasnya demi keuntungan jangka pendek,” ujar Fajar saat ditemui SinergiNews di sela kunjungannya ke kampung tersebut.


Palintangan dan Siaran Tradisi

Kehidupan warga Ciptagelar sangat terikat pada sistem Palintangan, perhitungan kalender bintang tradisional Sunda. Penentuan masa tanam, panen, pembangunan rumah, bahkan pernikahan, ditentukan oleh posisi rasi bintang dan gerak langit. Sistem ini dipadukan dengan teknologi modern yang mereka bangun sendiri—mulai dari PLTMH (pembangkit listrik tenaga mikrohidro) hingga TV dan Radio Ciptagelar, yang menyiarkan konten lokal berbasis budaya dan edukasi.

“Bayangkan, komunitas adat yang tidak menjual padi ke pasar bisa punya siaran TV digital sendiri. Ini bukan romantisme masa lalu, ini strategi peradaban,” lanjut Fajar.

Teknologi digunakan bukan untuk konsumsi pasif, tapi sebagai alat penyampai nilai-nilai tradisional kepada generasi muda mereka sendiri. Ciptagelar menyajikan sintesis yang langka: akar tradisi yang dalam dan semangat inovasi yang membumi.


Bukan Destinasi, Tapi Ruang Perjumpaan

Meski namanya semakin dikenal luas, Ciptagelar menolak dikomersialisasikan sebagai “desa wisata” konvensional. Tidak ada vila mewah, tidak ada spanduk promosi. Wisatawan yang datang diterima sebagai tamu, bukan konsumen. Mereka diajak tinggal bersama warga, mengikuti ritme hidup kampung, dan mendengar langsung kisah dari para tetua adat.

“Di sinilah makna wisata budaya yang sesungguhnya. Bukan untuk melihat-lihat eksotisme lokal, tapi untuk menyerap cara hidup yang lebih selaras dan bijaksana,” kata Fajar, yang juga tergabung dalam Dewan Kebudayaan Kota Cimahi.


Menjaga Masa Depan dari Akar

Kini Ciptagelar menjadi laboratorium hidup yang semakin dilirik dunia internasional. Namun bagi Abah Ugi dan warganya, perhatian publik bukan tujuan, melainkan sarana untuk menguatkan identitas. Mereka terus memperluas jaringan komunitas adat, mendokumentasikan pengetahuan leluhur, dan membangun pendidikan alternatif berbasis nilai-nilai kampung.

Fajar menutup dengan refleksi:

“Ciptagelar adalah teguran bagi kita yang hidup di kota: bahwa modernitas tidak harus dibangun di atas puing-puing tradisi. Justru dari kampung seperti inilah kita bisa belajar tentang masa depan.”


Catatan Redaksi:
Kampung Adat Ciptagelar berlokasi di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Akses terbaik melalui jalur Palabuhanratu dengan kendaraan 4WD. Pengunjung yang ingin berkunjung disarankan berkoordinasi dengan komunitas kasepuhan dan mematuhi norma adat setempat.

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole