Ngartakeun Bumi Lamba: Menjaga Denyut Sunda di Tangkuban Parahu

Ngartakeun Bumi Lamba: Menjaga Denyut Sunda di Tangkuban Parahu
Ngartakeun Bumi Lamba: Menjaga Denyut Sunda di Tangkuban Parahu

Oleh: Tim SinergiNews – 29 Juni 2025

Di bawah naungan Gunung Tangkuban Parahu, di tengah aroma tanah basah dan suara angin, Ngartakeun Bumi Lamba sebagai bentuk ritual syukur yang menghidupkan jiwa Sunda. Setiap Juni, upacara Ngertakeun Bumi Lamba menyatukan ribuan orang dari berbagai suku, menjahit harmoni antara manusia, alam, dan leluhur. Bagaimana komunitas ini menjaga warisan budaya di tengah arus zaman?

Jejak Leluhur di Kawah Ratu

Pagelaran komunitas ini berawal pada 2009, terinspirasi dari perjalanan ke Baduy dan naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M), yang mencatat ritual Kuwera Bhakti Dharma Wisundarah era Kerajaan Sunda Galuh. “Kami ingin mengembalikan keseimbangan alam melalui syukur leluhur,” ujar Wenda Hermawan, Jaro Canoli, pada 2024. Sejak itu, upacara tahunan di Kawah Ratu, Tangkuban Parahu, menjadi simbol pembaruan spiritual.

Pada 22 Juni 2025, sekitar 2.000 peserta dari suku Sunda, Baduy, Dayak, hingga Bali berkumpul dalam Upacara Adat Sunda Nusantara Sabuana, bertema “Ngasuh Ratu, Ngayak Menak, Ngaraksa Mandala, Makuan Nagara.” Prosesi seperti ngalung sesajen, pemberkatan air suci dari mata air Nusantara, dan lantunan rajah mencerminkan kebhinekaan dalam semangat Sunda.

Ritual Sakral dan Musik Jiwa

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba kaya simbolisme. Jentreng dengan tujuh senar melambangkan tujuh aspek spiritual (kuasa, kehendak, pengetahuan, hidup, melihat, mendengar, berbicara), sementara Karinding dan Celempung menggambarkan keseimbangan kosmologis. “Musik adalah doa yang menghubungkan kita dengan alam,” kata Rakean Radite Wiranatakusumah, ketua panitia, pada 2025. Prosesi kirab sajen, sawer tirta suci, dan pelepasan burung menandai syukur atas kelimpahan bumi.

Ritual ini diadakan setiap Ahad pertama setelah titik balik matahari, sesuai kalender Suryakala Sunda. Peserta, mengenakan pakaian adat, membawa sesajen seperti bunga dan hasil bumi, menciptakan suasana sakral di tengah kabut Tangkuban Parahu.

Tantangan di Tengah Modernisasi

Hingga 2025, komunitas ini menghadapi tantangan regenerasi. “Banyak anak muda lebih tertarik pada budaya pop daripada ritual adat,” ujar Taufik Aditya Utama dari Pijar Menempa Indonesia, pada 2024. Pembangunan di kawasan Tangkuban Parahu juga mengancam kesucian lokasi. Namun, kolaborasi dengan komunitas seperti Sagara Creative House dan dukungan tokoh seperti Panglima Jilah dari suku Dayak memperkuat eksistensi mereka. Media sosial kini dimanfaatkan untuk menarik wisatawan dan menyebarkan edukasi budaya.

Refleksi: Harmoni Sunda dalam Perspektif Antropologi

Fajar Budhi Wibowo, penggiat budaya dari Pusat Studi Budaya dan Sejarah Sanghyang Hawu serta Dewan Kebudayaan Kota Cimahi, melihat komunitas ini sebagai cerminan kosmologi Sunda. “Secara antropologis, Ngertakeun Bumi Lamba adalah manifestasi hubungan trilogis manusia, alam, dan Tuhan, sebagaimana tertuang dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian. Ritual ini bukan sekadar seremoni, melainkan praktik hidup yang mengajarkan keselarasan ekologis dan spiritual. Musik Jentreng dan Karinding, misalnya, bukan hanya alat seni, tetapi medium komunikasi dengan leluhur, mencerminkan worldview Sunda yang holistik,” ujarnya.

Dari perspektif kebudayaan, Fajar menilai komunitas ini memperkuat identitas lintas suku. “Upacara Sabuana 2025 menunjukkan bagaimana Sunda menjadi payung budaya yang inklusif, menyatukan Dayak hingga Minahasa. Ini pelajaran bagi Cimahi, kota urban yang tengah mencari jati diri budaya. Wisata edukasi, seperti yang dikembangkan di Tangkuban Parahu, bisa menjadi model untuk melibatkan generasi muda, menjaga tradisi tak benda tetap relevan di era digital. Namun, tantangan regenerasi dan tekanan pembangunan mengingatkan kita untuk memperkuat kolaborasi lintas komunitas, seperti yang dilakukan Panggelar dengan Baduy dan Bali,” tambahnya.

Menyapa Bumi Lamba

Kegiatan Ngartakeun Bumi Lamba mengajak kita mendengar denyut bumi di bawah Tangkuban Parahu. Dengan asap sajen dan suara Karinding, mereka menjaga warisan leluhur. Siap menyusuri harmoni Sunda bersama mereka?


Catatan Redaksi: Artikel ini disusun berdasarkan wawancara dengan Wenda Hermawan (2024, Liputan6.com), Rakean Radite Wiranatakusumah (2025, Detik.com), dan Taufik Aditya Utama (2024, Liputan6.com), serta informasi dari Kompas.com (2025) dan BandungBergerak.id (2025). Sinerginews.co.id berkomitmen mempromosikan budaya Sunda.

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole