Kemakmuran yang Tidak Merata
Data statistik resmi menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2025 mencapai angka yang mengesankan, namun di balik optimisme angka agregat tersebut tersembunyi realitas yang jauh lebih suram. Pertumbuhan tinggi ternyata gagal menjangkau sektor informal yang mencakup sebagian besar tenaga kerja Indonesia, mengungkapkan paradoks kemakmuran yang tidak inklusif. Kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi manfaatnya justru semakin melebar, menciptakan ketimpangan yang menggerogoti fondasi pembangunan nasional.
Kelompok muda menjadi yang paling merasakan dampak dari pertumbuhan yang tidak merata ini, di mana kerawanan pekerjaan dan kurangnya lapangan kerja layak menjadi tantangan sehari-hari. Tingginya angka pengangguran terdidik dan maraknya pekerja paruh waktu tanpa jaminan sosial memperlihatkan bagaimana pertumbuhan ekonomi gagal menciptakan peluang yang bermakna bagi generasi muda. Situasi ini tidak hanya menjadi masalah ekonomi semata, tetapi telah berkembang menjadi ujian legitimasi bagi pemerintahan yang berkuasa.
Oleh karena itu, prioritas perbaikan kebijakan fiskal sebagai landasan untuk reformasi sosial yang terukur dan berkelanjutan. Legitimasi pemerintahan di masa depan akan sangat bergantung pada kemampuan negara dalam mendistribusikan manfaat ekonomi secara adil, menciptakan sistem yang tidak hanya mengejar pertumbuhan tinggi tetapi juga memastikan bahwa tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang tertinggal. Tanpa distribusi yang adil, pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi angka-angka kosong tanpa makna bagi kesejahteraan rakyat banyak.
Dari Akuntabilitas ke Ancaman Stabilitas
Dalam menanggapi gelombang protes, para pejabat publik justru memilih untuk membingkai gerakan masyarakat bukan sebagai bentuk aspirasi demokratis, melainkan sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional. Pembingkaian ini kemudian menjadi membenarkan tindakan keras dan represif terhadap para pengunjuk rasa, sehingga menggeser fokus dari tuntutan substantif rakyat ke persoalan keamanan semata. Pendekatan sekuritisasi seperti ini justru menutup ruang dialog dan memperlebar jarak antara negara dengan warganya.
Laporan dari organisasi HAM mengenai penggunaan gas air mata di lingkungan kampus menjadi bukti nyata pergerakan penerapan keamanan secara berlebihan. Alih-alih mengatasi akar permasalahan, negara justru menghindari bahasa politisasi korban dan mengubah wacana akuntabilitas menjadi sekadar masalah teknis keamanan. Retorika seperti ini tidak hanya mengaburkan tanggung jawab moral dan hukum para pemangku kebijakan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Dengan demikian, upaya mengalihkan isu dari tuntutan akuntabilitas ke narasi stabilitas justru memperburuk krisis legitimasi. Negara seharusnya membuka ruang dialog, bukan menutupnya dengan pendekatan represif, karena hanya melalui pengakuan terhadap suara rakyatlah kepercayaan publik dapat pulih.
Dilema Representasi dalam Era Digital
Gerakan protes kontemporer mengadopsi struktur desentralisasi yang memanfaatkan jejaring digital untuk mobilisasi cepat dan dinamis. Model organisasi tanpa hierarki ini memungkinkan aksi massa terbentuk secara organik, menyulitkan pihak berwenang memetakan aliran komando atau mengidentifikasi pemimpin inti. Namun, desentralisasi juga menghadapkan gerakan pada dilema representas, tanpa perwakilan resmi yang diakui, sulit bagi tuntutan substantif untuk diterjemahkan ke dalam meja perundingan formal.
Menanggapi tantangan ini, gerakan membangun representasi ad-hoc yang kredibel melalui proses bottom-up, di mana juru bicara muncul berdasarkan konsensus dan kemampuan artikulasi. Di sisi lain, institusi negara dituntut membuka kanal dialog formal yang mampu menampung suara-suara plural dari jalanan. Hanya melalui saluran komunikasi yang jelas dan inklusif tekanan kolektif dapat ditransformasikan menjadi kebijakan konkret.
Interaksi antara gerakan tanpa pemimpin dan institusi negara ini merefleksikan evolusi demokrasi partisipatoris di era digital, di mana legitimasi perundingan tidak lagi bergantung pada struktur formal, tetapi pada kapasitas menampung keragaman suara secara autentik.