Indeks

Dirgahayu RI ke 80

Seni: Cermin Rasa, Nalar, dan Zaman

Seni: Gema Rasa, Nalar, dan Zaman - Oleh: Yoyo C. Durachman. Foto: AI
Seni: Gema Rasa, Nalar, dan Zaman - Oleh: Yoyo C. Durachman. Foto: AI

SinergiNews – OPINI. Seni tumbuh dari hasrat manusia untuk memahami dunia, menciptakan ulang kenyataan, dan menyulam makna dari serpihan pengalaman yang berserakan di jalan hidup. Ia bukan hanya keterampilan tangan, tapi kristalisasi kepekaan rasa dan kejernihan nalar yang menjelma dalam rupa yang menyentuh: warna, gerak, bunyi, dan kata-kata.

Banyak orang mengira seni itu indah jika menyenangkan mata. Namun seni justru melampaui persepsi visual yang menyenangkan. Ia bisa hadir sebagai sengatan sunyi yang mengguncang kesadaran. Ia tidak selalu menyajikan ketenteraman, kadang justru menampar, membangunkan, bahkan melukai dengan cara yang luhur. Dalam kehadiran senyapnya, seni menjadi seruan, pengingat, dan penanda zaman yang tak bisa diabaikan.

Bahasa Ketiga yang Tak Terucapkan

Ketika kata-kata gagal melukiskan kedalaman rasa, seni menjadi bahasa ketiga, jalan sunyi untuk menyampaikan yang tak terucap. Ia tidak bergantung pada diksi, tetapi pada intensitas pengalaman. Dalam bentuk yang simbolik, ia bisa mewariskan budaya; dalam bentuk yang kritis, ia menyindir kekuasaan. Di balik bentuk apa pun, seni menyimpan kegelisahan yang ingin didengar.

Selama ribuan tahun, seni menemani manusia menyusuri lorong sejarah. Ia membekas di dinding gua sebagai jejak ritual purba, tumbuh dalam peradaban klasik sebagai lambang keagungan, meledak di era modern sebagai kritik sosial, dan kini mengalir dalam kanal digital sebagai bentuk baru imajinasi—dari NFT hingga realitas virtual. Namun, tak peduli bentuknya, jantung seni tetap berdenyut pada keresahan dan ketulusan penciptanya.

Jalan Seni, Jalan Kehidupan

Melalui berbagai ruang kehidupan, seni menyentuh manusia dengan cara yang unik. Ia menghidupkan kekhidmatan dalam upacara adat. Ia menghibur sekaligus menghipnotis dalam industri hiburan. Dalam dunia pendidikan, seni menjadi jembatan imajinasi dan daya nalar kritis. Ia juga hadir sebagai medium ekspresi sosial, menyalakan suara rakyat yang kerap dibungkam. Bahkan di ruang penyembuhan, seni menjelma menjadi terapi, obat bagi luka batin yang tak bisa dijangkau medis.

Seni tidak berdiri di satu ruang, ia menjelma dalam segala rupa. Dalam bentuk suara, seni musik dan bunyi menggiring emosi yang paling dalam. Pada rupa visual, lukisan, patung, hingga desain grafis menjadi ladang tafsir yang tak terbatas. Bahkan, narasi, puisi dan prosa menjadi taman renung tempat nalar dan rasa berdansa. Dan dalam dunia pertunjukan, teater, tari, film, dan seni instalasi mempertemukan ruang, waktu, dan tubuh dalam panggung pengalaman yang hidup.

Karya Tidak Hanya Tercipta

Karya seni bukan produk instan. Seniman menciptakannya dari perenungan yang dalam, pengamatan yang tajam, ketekunan yang setia, dan keberanian untuk bersikap. Di balik tiap karya, tersimpan dunia yang ingin dibicarakan, luka yang ingin disembuhkan, atau tatanan yang ingin digugat.

Mengapresiasi seni tidak hanya memandang. Kita perlu hadir penuh, menyimak, merasakan, dan menafsir. Seni tak melulu memberi jawaban; ia justru mengajak bertanya, mengguncang kepastian, dan membuka ruang pencarian. Di situlah manusia bertumbuh, bukan melalui kebenaran mutlak, tapi melalui kesediaan untuk meragukan dan menafsir ulang makna hidup.

Berhenti Sejenak, Menyimak Denyut Rasa

Di zaman yang serba cepat, saat layar demi layar bergulir tanpa jeda, seni mengajak kita berhenti sejenak. Ia membisikkan bahwa manusia hanya mesin produksi, tapi makhluk rasa yang butuh sapaan dari keindahan, kegetiran, bahkan kekacauan yang sublim. Ia menyuguhkan potret yang tak selalu manis, tapi jujur. Potret yang menumbuhkan, bukan meninabobokan.

Selama manusia masih merasa, selama ada peristiwa yang tak bisa terjelaskan dengan logika, dan selama cinta masih melampaui bahasa, seni akan terus hidup. Ia akan terus bercerita, tentang kita, tentang zaman, dan tentang yang tak ingin kita lupakan.

Rabindranath Tagore berkata, “Seni adalah bentuk tertinggi dari harapan yang dibungkus dalam keindahan.” Maka selama harapan itu masih menyala, selama manusia masih ingin memahami dirinya dan dunia, seni tak akan pernah lenyap.***

Penulis: Yoyo C. Durachman.

Editor: Fajar Budhi Wibowo.

Melayani Seluruh Indonesia, Info Lengkap hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole
Exit mobile version