Berita, Buletin Kebudayaan, Kebudayaan dan Pariwisata, OPINI  

Oleh: Fajar Budhi Wibowo.
Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC), yang pada keberadaanya terus menggeliat, harus berperan sebagai salah satu unsur forum pengelola program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Dari 19 perusahaan yang aktif dalam forum TJSL kota (DPMPTSP Kota Cimahi, 2024), DKKC dapat andil dalam menyusun proposal bankable untuk mendanai pilot project bidang pemajuan kebudayaan, seperti revitalisasi Gedung Societet atau program “Sabtu Budaya” di tiap kelurahan maupun program ikonik lainnya.

Komunitas Perempuan Berkebaya Gelar Diplomasi Budaya Pada Peringatan Hari Kebaya Nasional 2025

Komunitas Perempuan Berkebaya Gelar Diplomasi Budaya Pada Peringatan Hari Kebaya Nasional 2025

Dengan semangat kolaborasi, kegiatan mendapat dukungan dari lembaga, tokoh, komunitas, dan media yang memiliki cinta yang sama pada warisan budaya bangsa. Dari awal hingga akhir, setiap detik seperti jahitan halus dalam kain kebaya, membentuk narasi utuh tentang siapa kita. Ke mana akar budaya ini akan dibawa di masa depan.

Belajar Dari Jejak Peradaban

Belajar Dari Jejak Peradaban

Dalam kehidupan kita sehari hari terpampang suatu fenomena, di satu sisi terbentang warisan leluhur: kitab-kitab tua, pahatan batu, alat musik tradisi, cerita yang bernilai sejarah yang menggambarkan tokoh dan peristiwa masa lalu. Di sisi lain, menjulang bangunan modern, bayangan kota yang hingar bingar dengan penanda perlengkapan kehidupan sehari hari yang berteknologi canggih yang menjadi simbol zaman.

Hari Kebaya Nasional 2025, Komunitas Perempuan Berkebaya Gelar Lomba Berkebaya

Hari Kebaya Nasional 2025, Komunitas Perempuan Berkebaya Gelar Lomba Berkebaya

“Kebaya bukan semata pakaian. Ia adalah pernyataan budaya,” ujar Lia Nathalia, Ketua Komunitas Perempuan Berkebaya, dengan nada penuh keyakinan. “Di balik setiap helai kebaya, tersimpan kisah panjang perempuan Nusantara. Ia bukan sekadar simbol feminitas, tetapi juga lambang keteguhan, ketulusan, dan kecintaan pada akar budaya kita. Karena itu, dalam lomba ini, kami tidak mencari siapa yang paling cantik saat berkebaya. Justru kami ingin melihat siapa yang mampu memaknai kebaya sebagai cermin jati dirinya.”

“Dalam acara ini,” terang Fitri Kurniawati dengan nada reflektif, “saya melihat bahwa kebaya bukan sekadar lembaran kain yang dibentuk indah di tubuh perempuan. Ini juga bukan perkara siapa yang mengenakan kebaya paling mahal, atau siapa yang menghias dirinya dengan asesoris paling gemerlap. Lebih dari itu, lomba ini menjadi ruang bagi setiap perempuan untuk menyelami kembali jati dirinya, melalui pilihan kain yang ia kenakan, melalui lipatan sanggul yang ia tata, hingga pada makna yang ia sematkan di balik kebaya yang ia pilih. Intinya, ini adalah tentang memahami siapa diri kita dalam bingkai budaya.”

PERAHU YANG DILARANG KEMBALI – BAGIAN III (Tamat)

PERAHU YANG DILARANG KEMBALI – BAGIAN III (Tamat)

Sangkuriang menatap bayang-bayang itu, dadanya sesak oleh ingatan yang menyeruak: pelukan ibunya di bawah pohon, lolongan Si Tumang di malam yang dingin, dan darah yang ia tumpahkan tanpa tahu itu adalah ayahnya.

Dayang Sumbi turun dari rumah cahayanya, langkahnya ringan seperti kabut, namun setiap tapaknya mengguncang bumi seperti gempa purba. Ia berdiri di hadapan Sangkuriang, memegang sehelai benang fajar yang berkilau seperti air mata bintang.

“Anaking jimat awaking,” (Anaku belahan jiwaku) katanya.

Suaranya lembut namun menghancurkan seperti ombak yang memecah batu karang.

“Asal anjeun lain ti perahu, lain ti pendetan, tapi ti rangkai wanci anu kuring tinung jeung kasih Si Tumang. Anjeun anak kuring, anak kahyangan, tapi dosa anjeun ka Bapa anjeun ngahariring di leutak ieu.” (Anakku, asalmu bukan di perahu, bukan di bendungan, tapi di jalinan waktu yang kutenun bersama kasih Si Tumang. Kau anakku, anak kahyangan, tapi dosamu pada ayahmu bernyanyi di lumpur ini.)

PERAHU YANG DILARANG KEMBALI – BAGIAN II

PERAHU YANG DILARANG KEMBALI – BAGIAN II

Orang Tua Lembah berkumpul. Ki Jarwa Dipa mengangguk-angguk sambil menyentuh tanah dengan tongkat akar sambil berujar:

“Manéhna geus leungit arah. Nyieun perahu tina ngabaladah leuweung, Nyieun pamendet tina watu karuhun.” (Dia telah kehilangan arah. Membuat perahu dari membabad hutan, membuat bendungan dari batu leluhur.)

Tidak Ada Postingan Lagi.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.

Untuk lebih lengkapnya, silakan hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole