Indeks

Dirgahayu RI ke 80

Menapaki Jejak Leluhur di Kampung Naga

Menapaki Jejak Leluhur di Kampung Naga
Menapaki Jejak Leluhur di Kampung Naga

Oleh: SinergiNews – 25 Februari 2024

Terletak di lembah subur di antara perbukitan Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Kampung Naga berdiri sebagai peradaban yang tak terusik oleh modernitas yang gaduh. Di kampung adat ini, waktu seolah melambat. Arsitektur kayu dan bambu, atap ijuk, serta jalan batu yang menurun ke jantung kampung menjadi lanskap yang memelihara warisan para leluhur Sunda sejak berabad silam.

Dengan sekitar 110 keluarga yang menetap, Kampung Naga tetap setia menjalankan kehidupan adat yang diwariskan secara lisan dan tanpa tulisan. Dalam diamnya, kampung ini menyimpan kekuatan tradisi, etika hidup ekologis, dan keteguhan identitas, di tengah arus globalisasi yang deras.

“Kampung Naga itu bukti bahwa modernitas tidak selalu berarti meninggalkan masa lalu. Di sana, masa depan justru dibangun dari nilai-nilai lama yang masih hidup,” ungkap Fajar Budhi Wibowo, budayawan asal Kota Cimahi dan anggota Dewan Kebudayaan Kota Cimahi, yang telah meneliti sejumlah kampung adat di Jawa Barat.

Adat sebagai Sistem Sosial

Warga Kampung Naga menjalankan kehidupan dengan panduan adat yang ketat. Mereka menolak listrik masuk ke kawasan inti kampung, tak menggunakan teknologi modern dalam bertani, dan menjaga bentuk rumah tetap seragam: panggung, berorientasi utara-selatan, tanpa hiasan mencolok. Bahkan pembangunan rumah tidak boleh menggunakan semen, paku, atau kaca.

Dalam praktik keagamaan, mereka menganut Islam, namun tetap memelihara sejumlah ritual adat yang diwarisi dari masa pra-Islam, seperti hajat bumi, ngaji pusaka, dan ziarah ke makam karuhun. Mereka juga menjaga leuweung larangan (hutan keramat) sebagai ruang spiritual dan ekosistem yang tidak boleh diganggu.

“Kampung Naga tidak anti-agama atau anti-modern, mereka justru sangat logis: mereka hanya memilih yang tidak merusak tatanan hidup mereka. Itu pilihan ekologis dan etis,” jelas Fajar.

Ekonomi Berdasarkan Cukup, Bukan Serakah

Mata pencaharian utama warga Kampung Naga adalah bertani padi di sawah, membuat kerajinan tangan dari bambu, dan menjadi pemandu bagi wisatawan yang datang. Namun, mereka tak mengenal sistem kepemilikan tanah pribadi secara mutlak, serta membatasi penjualan hasil produksi agar tidak melampaui kebutuhan.

Mereka juga menolak komersialisasi budaya. Meski kampung ini sering dikunjungi turis domestik dan asing, pengelolaan kunjungan dilakukan secara mandiri dan adat tetap menjadi panglima.

“Kampung Naga mengajarkan bahwa kesejahteraan bukan tentang akumulasi kekayaan, tapi tentang cukup, damai, dan selaras,” tutur Fajar.

Warisan Tak Tertulis, Tapi Tertanam

Tak ada naskah kuno atau dokumen hukum yang menjelaskan adat Kampung Naga. Semua disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi. Para orang tua mengajarkan anak-anak mereka tentang waktu menanam, cara menghitung hari baik, aturan membuat rumah, hingga nilai-nilai etika sosial.

Kampung ini menjadi contoh sistem pendidikan budaya non-formal yang hidup dan berkelanjutan.

“Saya pernah berbincang dengan juru pelihara adat di sana. Mereka bilang, adat itu bukan untuk dipamerkan, tapi untuk dijalani. Dan mereka benar,” kata Fajar.

Tantangan Zaman dan Keteguhan Komunitas

Dengan akses digital yang makin mudah, generasi muda Kampung Naga juga terpapar informasi dari luar. Namun sejauh ini, komunitas tetap mampu menjaga regenerasi adat melalui keterlibatan aktif dalam upacara, musyawarah adat, dan kegiatan gotong royong.

Pemerintah daerah dan para akademisi kerap menjadikan Kampung Naga sebagai contoh desa budaya berdaya, yang berhasil memelihara tradisi di tengah arus zaman. Namun, tantangan tetap ada: perubahan iklim, tekanan pariwisata, serta infiltrasi nilai-nilai konsumtif.

“Justru di sinilah pentingnya kehadiran komunitas budaya seperti Dewan Kebudayaan untuk menjembatani antara dunia adat dan dunia kebijakan publik,” tambah Fajar.***


Catatan Redaksi:
Kampung Naga dapat diakses dari jalan utama Garut–Tasikmalaya, tepatnya sekitar 30 km dari Kota Tasikmalaya. Pengunjung diharapkan menjaga sopan santun, tidak membawa drone, dan menghormati aturan lokal yang melarang mengambil gambar di wilayah tertentu.

Melayani Seluruh Indonesia, Info Lengkap hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole
Exit mobile version