Karya: Fajar Budhi Wibowo – Pusat Studi Budaya dan Sejarah “Sanghyang Hawu” (2015)
SinergiNews – Naskah drama monolog adalah naskah pertunjukan teater yang seluruhnya dibawakan oleh satu tokoh. Cerita disampaikan melalui narasi, dialog internal, dan refleksi pribadi tokoh tersebut. Monolog menekankan ekspresi emosi, ritme bicara, dan kekuatan narasi tunggal, didukung petunjuk suasana untuk membangun dramatika di atas panggung.
Di balik gemuruh kisah Ciung Wanara yang melegenda di tanah Sunda, ada satu tokoh yang sering luput dari sorotan: Aki Balangantrang. Ia bukan raja, bukan pula pendekar. Hanya seorang kakek renta di tepi Sungai Citanduy, penjaga sunyi yang pernah memungut takdir dari arus sungai. Sebuah bakul bambu berisi bayi dan telur ayam mengubah seluruh kehidupannya.
Kini, kisah Aki Balangantrang dihidupkan kembali dalam naskah monolog berjudul “Aki Balangantrang: Sunyi di Ujung Takdir.” Naskah berdurasi 30 menit ini menempatkan Aki sebagai tokoh utama, menyingkap sisi filosofis, getir, sekaligus manusiawi dari seorang lelaki tua yang membesarkan pahlawan tanpa menginginkan namanya dicatat sejarah.
Dramatis. Reflektif. Sekaligus elegan. Monolog ini bukan sekadar cerita rakyat, melainkan cermin bagi siapa saja yang pernah merasa dilupakan oleh sejarah yang mereka besarkan sendiri.
Mari kita simak alurnya:
PROLOG – SUNGAI DAN SUNYI (±3 menit)
Suasana:
- Cahaya remang warna kuning keemasan.
- Suara gemericik sungai tipis.
- Aki Balangantrang duduk di atas batu datar, tongkat di tangan.
AKI BALANGANTRANG:
(Kosong sejenak. Tarik napas panjang.)
Kadang aku bertanya pada air sungai ini… kenapa kau selalu mengalir… meski tak ada yang menunggu di ujung sana?
Tapi sungai ini tak pernah menjawab. Sama seperti hidupku.
(Senyum kecil, pahit.)
Orang-orang menyebutku… Aki Balangantrang. Kakek tua penjaga sunyi. Batu karang di tepi Citanduy. Hah! Nama yang besar untuk hidup yang kecil.
(Tunduk sejenak.)
Dulu, aku bagian dari istana. Muda, gagah, lapar akan kemenangan. Tapi kemenangan… hanya candu yang membuatmu kehilangan akal. Ketika semua menjadi dusta… aku memilih pergi.
(Suara sungai lebih keras. Aki memejamkan mata.)
Tapi, sungai ini tahu caranya bercanda. Sebab suatu pagi… ia menghanyutkan takdir ke hadapanku.
Sebuah bakul bambu. Di dalamnya, dua titipan yang akan mengubah dunia: seorang bayi kecil… dan sebutir telur ayam.
Bayi yang menangis. Telur yang diam. Dan aku? Orang tua bodoh… yang memilih menyelamatkan keduanya.
(Senyum kecil.)
Dan di sinilah kisahku dimulai.