Trilogi Cerpen Alegoris Kosmologis Sunda
Oleh: Fajar Budhi Wibowo
Bagian III: Abu dan Bayang-Bayang Asal (Gunung, Air dan Yang Tak Pernah Kembali)
Langit kembali ke warnanya yang semula: abu yang mendalam, tanpa kemarahan, tapi juga tanpa belas kasih. Seperti ibu yang sudah terlalu letih untuk menangis.
Cakrawala menutup luka lamanya dengan kabut kelabu yang bergoyang, seolah menangis atas dendam yang belum padam. Abu dari perahu yang runtuh menari di Padang Karuhun, membentuk bayang-bayang gunung yang menjulang tanpa nama, seperti tulang-tulang raksasa yang menjerit dalam diam.
Air danau yang surut meninggalkan lumpur hitam, seolah bumi meratap atas ambisi yang terkubur di pelukannya.
Sangkuriang berdiri di tengah reruntuhan, bara di dadanya menyala-nyala, namun kini bercampur dengan dingin keraguan. Matanya menembus kabut, menatap sisa perahu yang retak, terbakar oleh sinar fajar yang kejam.
Napasnya mengguncang udara, seperti badai yang terperangkap dalam tubuh manusia, dan suaranya menggelegar, pecah seperti batu yang dihantam ombak:
“Kuring acan réngsé! Asal kuring moal kapanggih ku anjeun, Ambu Wanci!”
(Aku belum selesai! Asalku takkan ditemukan olehmu, Ibu Waktu!)