Tantangan Mikro Kota Cimahi
Kami memiliki catatan panjang, dan sebagian akan kami paparkan pada artikel ini. Secara mikro, Cimahi memiliki berbagai permasalahan sektoral yang saling terkait, seperti ketimpangan kondisi sosial, kepadatan penduduk hingga kualitas hidup.
Pertama, data kemiskinan menunjukkan bahwa masih ada 37.000 penduduk miskin pada tahun 2024, dengan tingkat kemiskinan sebesar 4,39%. Indeks kesenjangan kemiskinan (0,39) dan keparahan kemiskinan (0,21) menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan yang signifikan. Data ini menurun dari 5,11% pada 2022. Angka ini menunjukkan progres, namun ketimpangan tetap menjadi perhatian. Sementara itu, TPT usia muda (15–24 tahun) masih tinggi, yaitu pada angka 22,3%. Meskipun tingkat kemiskinan secara keseluruhan relatif rendah (4,39%), ada perbedaan dalam distribusi penduduk miskin antar kecamatan. Data menunjukkan bahwa beberapa kelurahan di Kecamatan Cimahi Utara dan Cimahi Selatan memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dari Kecamatan Cimahi Tengah. Selain itu, program bantuan sosial seperti Bantuan Sosial Pangan (BSP) dan Program Keluarga Harapan (PKH) belum sepenuhnya merata, dengan beberapa kelurahan menerima lebih sedikit bantuan dari wilayah yang lainnya. Misalnya, data menunjukkan bahwa Cimahi Selatan memiliki 12.158 keluarga penerima BSP dengan anggaran Rp2,511 miliar, sedangkan Kota Cimahi secara keseluruhan memiliki 26.695 keluarga dengan anggaran Rp5,993 miliar. Hal ini menunjukkan adanya tantangan dalam mendistribusikan sumber daya secara adil, yang merupakan masalah mikro karena mempengaruhi komunitas lokal dan bisa masuk juga ke masalah makro karena cakupan dampaknya cukup luas. Ketimpangan pendapatan dapat menghambat upaya penciptaan masyarakat yang sejahtera dan meningkatkan risiko sosial.
Kedua, akses pendidikan tergolong baik, dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA sebesar 89,7%, tetapi tidak merata. Terdapat tiga kelurahan yang tidak memiliki fasilitas SD. Data pendidikan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam jumlah sekolah dan fasilitas pendidikan antar kecamatan. Misalnya, Kecamatan Cimahi Tengah memiliki lebih banyak sekolah dasar negeri, tidak seperti Kecamatan Cimahi Utara, yang lebih bergantung pada sekolah swasta. Data menunjukkan bahwa Net Enrollment Rate (NER) untuk sekolah dasar pada 2024 adalah 93,31%, yang menunjukkan bahwa masih ada anak yang tidak terdaftar, mungkin karena hambatan sosio-ekonomi di wilayah tertentu.
Ketiga, dalam bidang kesehatan, distribusi fasilitas seperti puskesmas dan apotek tidak merata, dengan beberapa kelurahan seperti Citeureup memiliki akses yang lebih terbatas dari wilayah pusat kota. Hal ini menunjukkan adanya disparitas dalam akses layanan dasar, yang dapat memengaruhi kualitas hidup warga di wilayah tertentu, dan merupakan masalah mikro karena bersifat terlokalisasi. Rasio tempat tidur rumah sakit hanya 1,2 per 1.000 penduduk, dan kasus gizi buruk masih ada di empat kelurahan. Prevalensi stunting berada pada angka 12,7%, yang mencerminkan tantangan dalam pemenuhan gizi dan akses layanan primer.
Keempat, data infrastruktur menunjukkan bahwa beberapa kelurahan, terutama di wilayah pinggiran seperti Citeureup, memiliki akses yang terbatas terhadap fasilitas seperti jaringan air bersih dan drainase. Distribusi energi dan air bersih belum merata, dengan beberapa wilayah memiliki akses yang lebih rendah dari wilayah pusat kota. Selain itu, sistem transportasi umum di Cimahi masih relatif rendah. Misalnya, data menunjukkan ukuran panjang jalan nasional dan provinsi di Cimahi pada 2024, tetapi tidak ada indikasi distribusi yang merata ke wilayah pinggiran. Hal ini dapat menyulitkan mobilitas warga di wilayah-wilayah tertentu. Hal ini merupakan masalah mikro karena bersifat spesifik pada wilayah tertentu.
Kelima, data kejahatan menunjukkan bahwa ada variasi dalam jumlah tindak pidana antar wilayah. Beberapa kelurahan melaporkan kasus-kasus seperti pencurian, perampokan, dan perjudian. Meskipun angka keseluruhan relatif rendah, kejahatan ini dapat mempengaruhi rasa aman warga di wilayah tertentu. Terutama jika tidak tertangani secara efektif. Misalnya, data menunjukkan jumlah kasus kejahatan bulanan, dengan beberapa bulan memiliki peningkatan signifikan, yang menunjukkan tantangan keamanan lokal yang perlu perhatian.
Secara mikro, isu utama meliputi disparitas akses layanan antar kelurahan, kemiskinan lokal, keterbatasan infrastruktur lokal, dan tantangan keamanan di wilayah tertentu. Masih banyak persoala mikro lainnya yang belum tertulis pada artikel ini.