Tantangan Makro Kota Cimahi
Pada tingkat makro, posisi Cimahi sebagai kota penyangga Bandung Raya membawa ekses urbanisasi yang masif, tekanan regional dan perubahan iklim menjadi faktor yang perlu menjadi perhatian serius.
Pertama, pertumbuhan penduduk Bandung Raya sebesar 3,5% per tahun memperbesar tekanan pada permukiman, infrastruktur, dan layanan dasar di Cimahi. Defisit perumahan di Cimahi mencapai 2.500 unit per tahun.
Kedua, kota ini juga menghadapi risiko lingkungan yang serius. Sebanyak 15 kelurahan terdampak bencana banjir dan longsor dalam lima tahun terakhir, dan terdapat 15 titik rawan genangan (bila tidak mau memakai diksi rawan banjir). Sistem drainase belum sepenuhnya adaptif terhadap perubahan pola curah hujan akibat iklim. Secara geografis, Cimahi merupakan daerah cekungan yang berada pada ketinggian 750 – 1.040 meter di atas permukaan laut, dengan sungai-sungai yang mengalir melalui kota. Data iklim menunjukkan curah hujan yang relatif tinggi. Kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya banjir, terutama jika sistem drainase tidak memadai, yang masuk pada masalah makro, karena mempengaruhi keseluruhan infrastruktur dan kehidupan warga. Selain itu, sebagai bagian dari kawasan Bandung Raya, Cimahi harus menyesuaikan diri dengan tren global seperti Sustainable Development Goals (SDG 11: Kota dan Komunitas Berkelanjutan), yang menekankan pentingnya kota yang tahan terhadap perubahan iklim.
Ketiga, produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Cimahi pada tahun 2024 tumbuh sebesar 5,26%, dengan sektor perdagangan, hotel, dan restoran memberikan kontribusi signifikan. Namun demikian, sektor ekonomi kreatif dan digital belum tersentuh secara optimal.
Keempat, data keuangan daerah menunjukkan bahwa Kota Cimahi sangat bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat. Pada tahun 2024, pendapatan transfer mencapai Rp1.067.352.662.640, yang jauh lebih besar dari pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp506.740.847.500. Ketergantungan ini menunjukkan kerentanan fiskal jika alokasi dana dari pusat berkurang, yang dapat mempengaruhi kemampuan kota untuk mendanai proyek strategis seperti infrastruktur atau layanan sosial. Hal ini merupakan masalah makro karena mempengaruhi stabilitas keuangan kota secara keseluruhan.
Kelima, meskipun Cimahi memiliki potensi dalam digitalisasi layanan publik, seperti terlihat dari data sektor komunikasi dan transportasi, kota ini masih tertinggal dibandingkan kota-kota lain seperti Surabaya, yang telah menerapkan sistem Surabaya Single Window (SSW) untuk mempercepat proses perizinan. Data menunjukkan bahwa sektor komunikasi dan transportasi tumbuh sebesar 10,42% pada 2024, tetapi tidak ada indikasi bahwa layanan publik telah mencapai efisiensi maksimal. Hal ini menunjukkan perlunya transformasi digital untuk meningkatkan efisiensi, yang merupakan bagian dari tren nasional menuju smart city, dan merupakan masalah makro karena mempengaruhi daya saing kota secara keseluruhan.
Secara makro, kota ini menghadapi tantangan seperti ketergantungan fiskal pada transfer dana pusat, risiko banjir akibat topografi dan iklim, ketimpangan pendapatan, dan perlunya transformasi digital untuk meningkatkan efisiensi layanan publik.