Pemerintah Kota Cimahi kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan menyelenggarakan program…
Pemerintah Kota Cimahi kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan menyelenggarakan program…
SinergiNews – Cimahi – Pemerintah Kota Cimahi melantik sebanyak 123 orang pejabat struktural dan fungsional…
SinergiNews – Cimahi. Pemerintah Kota Cimahi kembali meraih penghargaan strategis atas kinerja keuangan daerah yang…
SinergiNews – Cimahi. Pemerintah Kota Cimahi melalui Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) terus berupaya memperkuat…
Karya: Fajar Budhi Wibowo – Pusat Studi Budaya dan Sejarah “Sanghyang Hawu” (2015) SinergiNews –…
Bandung, SinergiNews – Hujan deras sejak Rabu malam (16/7/2025) memicu banjir di Gedebage dan Rancaekek,…
Maula memberikan mahar berupa 90 gram logam mulia, 9 ekor sapi, 9 ekor domba Garut, 9 ekor ayam pelung Cianjur, 9 tambunan bibit ikan gurame, 99 jenis bibit buah kayu lokal, dan 9 jenis bibit padi lokal. “Mahar ini mencerminkan ketahanan pangan, sesuai visi ayah saya,” ujar Maula, dikutip dari YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel.
Apakah kesepakatan ini akan menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang, atau justru memperlemah posisi tawar di pasar global?
Dalam kehidupan kita sehari hari terpampang suatu fenomena, di satu sisi terbentang warisan leluhur: kitab-kitab tua, pahatan batu, alat musik tradisi, cerita yang bernilai sejarah yang menggambarkan tokoh dan peristiwa masa lalu. Di sisi lain, menjulang bangunan modern, bayangan kota yang hingar bingar dengan penanda perlengkapan kehidupan sehari hari yang berteknologi canggih yang menjadi simbol zaman.
“Kebaya bukan semata pakaian. Ia adalah pernyataan budaya,” ujar Lia Nathalia, Ketua Komunitas Perempuan Berkebaya, dengan nada penuh keyakinan. “Di balik setiap helai kebaya, tersimpan kisah panjang perempuan Nusantara. Ia bukan sekadar simbol feminitas, tetapi juga lambang keteguhan, ketulusan, dan kecintaan pada akar budaya kita. Karena itu, dalam lomba ini, kami tidak mencari siapa yang paling cantik saat berkebaya. Justru kami ingin melihat siapa yang mampu memaknai kebaya sebagai cermin jati dirinya.”
“Dalam acara ini,” terang Fitri Kurniawati dengan nada reflektif, “saya melihat bahwa kebaya bukan sekadar lembaran kain yang dibentuk indah di tubuh perempuan. Ini juga bukan perkara siapa yang mengenakan kebaya paling mahal, atau siapa yang menghias dirinya dengan asesoris paling gemerlap. Lebih dari itu, lomba ini menjadi ruang bagi setiap perempuan untuk menyelami kembali jati dirinya, melalui pilihan kain yang ia kenakan, melalui lipatan sanggul yang ia tata, hingga pada makna yang ia sematkan di balik kebaya yang ia pilih. Intinya, ini adalah tentang memahami siapa diri kita dalam bingkai budaya.”