Oleh: Tim SinergiNews – 28 April 2024
Di balik lembah dan pesawahan Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, terdapat tempat yang terasa seperti berhenti dalam waktu. Di tengah danau hijau yang tenang, sebuah pulau kecil berdiri, dihuni oleh hanya tujuh keluarga, dengan tujuh rumah, tujuh makam leluhur, dan sebuah candi Hindu abad ke-8 yang masih tegak berdiri. Tempat ini dikenal sebagai Kampung Pulo.
Bagi banyak orang, ini bukan sekadar kampung, melainkan simpul sejarah yang mempertemukan ajaran leluhur Sunda, jejak Hindu kuno, dan kearifan Islam Nusantara, semua hidup berdampingan, tanpa saling menghapus.
“Kampung Pulo adalah contoh nyata toleransi yang bukan dibuat, tapi diwariskan. Mereka tidak butuh slogan, cukup menjalani keseharian,” ujar Fajar Budhi Wibowo, budayawan asal Cimahi, saat ditemui dalam lawatannya ke situs ini.
Tujuh Rumah, Aturan Tak Tertulis
Yang menarik, jumlah rumah dan kepala keluarga di Kampung Pulo tidak pernah berubah: tujuh, dan harus tetap tujuh. Jika ada anak dari salah satu keluarga menikah dan tinggal di sana, maka keluarga tertua akan berpindah ke luar kampung. Bukan karena diusir, tapi sebagai bagian dari kesepakatan adat yang diyakini menjaga keseimbangan.
“Kalau jumlahnya lebih, kampung ini akan kehilangan keberkahan,” kata salah satu sesepuh kampung yang ditemui di bale-bale rumahnya.
Warga Kampung Pulo hidup sangat sederhana. Rumah-rumah berdinding bilik bambu dan berlantai tanah. Listrik ada, tapi hanya digunakan seperlunya. Tidak ada suara musik keras, tidak ada kendaraan bermotor masuk ke area kampung. Di sini, ketenangan bukan tuntutan, tapi kebiasaan.
Candi Cangkuang: Satu-satunya di Tanah Sunda
Tak jauh dari rumah warga berdiri Candi Cangkuang, satu-satunya candi Hindu peninggalan abad ke-8 yang ditemukan di tanah Sunda. Candi ini diperkirakan bagian dari era Kerajaan Galuh atau Tarumanagara. Yang menarik, tepat di seberangnya terdapat makam Embah Dalem Arief Muhammad, ulama dan tokoh penyebar Islam di kawasan ini.
Dua situs ini—candi Hindu dan makam tokoh Islam—berdiri berdampingan, tanpa pagar pembatas, tanpa kontroversi, tanpa perdebatan. Sebuah pesan diam bahwa perbedaan bukan alasan untuk saling menghapus.
Wisata Spiritual dan Reflektif
Untuk menuju Kampung Pulo, pengunjung harus menyeberangi Situ Cangkuang menggunakan rakit bambu yang digerakkan dengan tangan. Begitu tiba, aroma hutan dan suara burung akan menyambut dalam keheningan yang menenangkan.
Di kampung ini, wisatawan bukan pelancong, tapi tamu. Tidak ada komersialisasi berlebihan, tidak ada wahana buatan. Yang ada hanyalah alam, adat, dan kejujuran kehidupan. Beberapa wisatawan yang datang mengaku pulang dengan kesan batin yang sulit dilupakan.
“Saya tak menemukan oleh-oleh, tapi menemukan kembali cara bersikap hormat,” tulis seorang pengunjung dalam buku tamu.
Adat Masih Dijaga, Meski Tanpa Formalitas
Meski tanpa pakaian adat atau upacara besar, warga Kampung Pulo menjaga aturan adat secara konsisten. Mereka tidak mengadakan pesta hajatan berlebihan, tidak menyalakan musik keras, dan selalu melibatkan tetua dalam setiap keputusan keluarga.
Anak-anak tetap bersekolah ke luar kampung, tetapi mereka tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai kesederhanaan dan kejujuran.
Pesan dari Pulau Sunyi
Kampung Pulo bukan sekadar destinasi, tapi cermin budaya lokal yang tahu batas dan makna. Ia tidak tampil gemerlap, tapi justru memikat dengan kesahajaannya. Ia tidak bicara soal kemajuan, tapi mengajarkan bagaimana tidak kehilangan arah dalam kemajuan.
“Kampung ini adalah pelajaran diam tentang kesadaran ruang dan relasi antaragama. Kita seharusnya belajar dari tempat sunyi seperti ini,” tutup Fajar.
Catatan Redaksi:
Wisatawan yang ingin mengunjungi Kampung Pulo disarankan datang dengan panduan lokal dan mengikuti aturan adat setempat. Jangan merusak, jangan mengambil foto sembarangan, dan hormati keheningan kampung. Kampung ini bukan tempat hiburan, tapi ruang belajar.