Paseban Tri Panca Tunggal: Ruh Sunda yang Bernaung di Cigugur
Di kaki Gunung Ciremai yang megah, kabut pagi menggantung di atas sawah dan pohon beringin tua. Di sinilah berdiri Paseban Tri Panca Tunggal, sebuah pusat spiritual dan budaya Sunda yang didirikan oleh Pangeran Madrais, tokoh pembaharu adat Sunda pada akhir abad ke-19. Terletak di Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, tempat ini menjadi titik temu antara ajaran leluhur, nilai kemanusiaan universal, dan gerakan perlawanan budaya terhadap kolonialisme.
Bukan sekadar situs sejarah, Paseban adalah jantung dari komunitas AKUR (Ajar Karuhun Urang), sebuah kelompok spiritual-budaya yang hingga kini terus melanjutkan ajaran Sang Guru, Madrais, dalam praktik hidup sehari-hari: dalam ritual, dalam pertanian, bahkan dalam cara mereka berdialog dengan zaman.
Warisan Madrais: Agama Rasa yang Membumi
Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat adalah tokoh besar dalam sejarah perlawanan Sunda terhadap asimilasi paksa kolonial. Ia tidak hanya menolak dominasi kekuasaan asing atas tanah leluhur, tapi juga menyusun kembali sistem nilai melalui ajaran spiritual yang disebut “Agama Djawa Sunda”, yang kini diwarisi sebagai bagian dari AKUR.
Ajaran ini tidak mengklaim sebagai agama baru, melainkan sebagai jalan hidup berdasarkan rasa, karuhun, dan keselarasan dengan alam. Nilai utamanya disebut Tri Panca Tunggal:
Rasa,
Karsa,
Cipta,
Karuhun,
Alam.
“Paseban bukan tempat ibadah dalam pengertian sempit. Ini tempat untuk menyatu kembali dengan diri, leluhur, dan semesta,” jelas Fajar Budhi Wibowo, yang telah melakukan studi mendalam tentang tradisi Cigugur.
Ritual, Musik, dan Bahasa Simbolik
Setiap tanggal 1 Rayagung dalam kalender Sunda, komunitas AKUR menggelar Seren Taun Cigugur—upacara syukur atas panen dan kehidupan. Berbeda dari Seren Taun lainnya di Jawa Barat, versi Cigugur sangat kental dengan nuansa spiritual universal dan simbolisme kosmologis. Warga mengenakan pakaian putih, memainkan gamelan, dan melakukan kirab budaya dari halaman Paseban menuju alun-alun adat.
Ada juga tembang Madrais, syair-syair ajaran yang dinyanyikan dengan penuh perenungan. Bahasa yang digunakan bukan sekadar Sunda, tetapi bahasa rasa—berisi pengingat tentang keseimbangan, kejujuran, dan cinta terhadap kehidupan.
“Seren Taun Cigugur bukan tontonan. Ia adalah perwujudan filsafat hidup, bukan sekadar perayaan panen,” tegas Fajar.
AKUR dan Dialog Zaman
Meski berakar kuat pada tradisi, komunitas AKUR di Cigugur aktif berdialog dengan zaman. Mereka tidak anti-modernitas, tapi percaya bahwa semua teknologi dan sistem sosial harus kembali pada rasa dan nilai kemanusiaan.
Di tengah tekanan zaman, AKUR bahkan mengembangkan program pendidikan berbasis nilai, pelestarian lingkungan, dan kajian naskah ajaran Madrais. Generasi mudanya kini mulai menggunakan media digital untuk mendokumentasikan dan menyebarkan pemahaman spiritual dan kebudayaan mereka kepada publik luas.
“AKUR adalah contoh langka dari komunitas adat yang tidak statis. Mereka justru sangat hidup, sangat reflektif, dan sangat terbuka dalam mengajarkan nilai-nilai yang aplikatif,” ujar Fajar.
Ancaman dan Harapan
Paseban Tri Panca Tunggal tidak luput dari tantangan. Sejumlah tekanan muncul dari mispersepsi publik, minimnya perlindungan hukum terhadap ekspresi keyakinan lokal, hingga ancaman komersialisasi Seren Taun. Namun komunitas ini tetap bertahan dengan kekuatan batin dan solidaritas sosial.
Fajar menutup pernyataannya dengan penuh empati:
“Kita sering lupa bahwa kebudayaan tak hanya soal benda, tapi tentang manusia yang bertahan dalam keyakinannya, yang hidup dalam nilai, dan yang setia menjaga roh peradaban. Cigugur adalah salah satunya.”
Catatan Redaksi: Paseban Tri Panca Tunggal dapat dikunjungi dengan terlebih dahulu menghubungi pengurus komunitas AKUR di Cigugur. Pengunjung diharapkan mengikuti tata cara adat, bersikap santun, dan terbuka terhadap pengalaman spiritual yang mungkin berbeda dari arus utama.
Oleh: Fajar Budhi Wibowo.
Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC), yang pada keberadaanya terus menggeliat, harus berperan sebagai salah satu unsur forum pengelola program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Dari 19 perusahaan yang aktif dalam forum TJSL kota (DPMPTSP Kota Cimahi, 2024), DKKC dapat andil dalam menyusun proposal bankable untuk mendanai pilot project bidang pemajuan kebudayaan, seperti revitalisasi Gedung Societet atau program “Sabtu Budaya” di tiap kelurahan maupun program ikonik lainnya.
Pembangunan kebudayaan semestinya diposisikan sebagai nadi utama pembangunan, bukan tempelan kegiatan seremoni. Ajip Rosidi pernah menulis bahwa “kebudayaan adalah pengetahuan tentang hidup yang dibentuk oleh pengalaman panjang masyarakatnya.” Dalam konteks Cimahi dan Jawa Barat, pernyataan ini bukan sekadar renungan, tetapi panggilan. Tanpa integrasi kebudayaan dalam visi pembangunan, maka Smart City hanya akan menjadi kota cepat, bukan kota cerdas.
Banyak orang mengira seni itu indah jika menyenangkan mata. Namun seni justru melampaui persepsi visual yang menyenangkan. Ia bisa hadir sebagai sengatan sunyi yang mengguncang kesadaran. Ia tidak selalu menyajikan ketenteraman, kadang justru menampar, membangunkan, bahkan melukai dengan cara yang luhur. Dalam kehadiran senyapnya, seni menjadi seruan, pengingat, dan penanda zaman yang tak bisa diabaikan.
Dengan semangat kolaborasi, kegiatan mendapat dukungan dari lembaga, tokoh, komunitas, dan media yang memiliki cinta yang sama pada warisan budaya bangsa. Dari awal hingga akhir, setiap detik seperti jahitan halus dalam kain kebaya, membentuk narasi utuh tentang siapa kita. Ke mana akar budaya ini akan dibawa di masa depan.
Dalam kehidupan kita sehari hari terpampang suatu fenomena, di satu sisi terbentang warisan leluhur: kitab-kitab tua, pahatan batu, alat musik tradisi, cerita yang bernilai sejarah yang menggambarkan tokoh dan peristiwa masa lalu. Di sisi lain, menjulang bangunan modern, bayangan kota yang hingar bingar dengan penanda perlengkapan kehidupan sehari hari yang berteknologi canggih yang menjadi simbol zaman.
“Kebaya bukan semata pakaian. Ia adalah pernyataan budaya,” ujar Lia Nathalia, Ketua Komunitas Perempuan Berkebaya, dengan nada penuh keyakinan. “Di balik setiap helai kebaya, tersimpan kisah panjang perempuan Nusantara. Ia bukan sekadar simbol feminitas, tetapi juga lambang keteguhan, ketulusan, dan kecintaan pada akar budaya kita. Karena itu, dalam lomba ini, kami tidak mencari siapa yang paling cantik saat berkebaya. Justru kami ingin melihat siapa yang mampu memaknai kebaya sebagai cermin jati dirinya.”
“Dalam acara ini,” terang Fitri Kurniawati dengan nada reflektif, “saya melihat bahwa kebaya bukan sekadar lembaran kain yang dibentuk indah di tubuh perempuan. Ini juga bukan perkara siapa yang mengenakan kebaya paling mahal, atau siapa yang menghias dirinya dengan asesoris paling gemerlap. Lebih dari itu, lomba ini menjadi ruang bagi setiap perempuan untuk menyelami kembali jati dirinya, melalui pilihan kain yang ia kenakan, melalui lipatan sanggul yang ia tata, hingga pada makna yang ia sematkan di balik kebaya yang ia pilih. Intinya, ini adalah tentang memahami siapa diri kita dalam bingkai budaya.”
Pemerintah tetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Momentum ini sarat makna sejarah dan kontroversi, diharapkan memperkuat jati diri bangsa Indonesia.
Sangkuriang menatap bayang-bayang itu, dadanya sesak oleh ingatan yang menyeruak: pelukan ibunya di bawah pohon, lolongan Si Tumang di malam yang dingin, dan darah yang ia tumpahkan tanpa tahu itu adalah ayahnya.
Dayang Sumbi turun dari rumah cahayanya, langkahnya ringan seperti kabut, namun setiap tapaknya mengguncang bumi seperti gempa purba. Ia berdiri di hadapan Sangkuriang, memegang sehelai benang fajar yang berkilau seperti air mata bintang.
Suaranya lembut namun menghancurkan seperti ombak yang memecah batu karang.
“Asal anjeun lain ti perahu, lain ti pendetan, tapi ti rangkai wanci anu kuring tinung jeung kasih Si Tumang. Anjeun anak kuring, anak kahyangan, tapi dosa anjeun ka Bapa anjeun ngahariring di leutak ieu.” (Anakku, asalmu bukan di perahu, bukan di bendungan, tapi di jalinan waktu yang kutenun bersama kasih Si Tumang. Kau anakku, anak kahyangan, tapi dosamu pada ayahmu bernyanyi di lumpur ini.)
Orang Tua Lembah berkumpul. Ki Jarwa Dipa mengangguk-angguk sambil menyentuh tanah dengan tongkat akar sambil berujar:
“Manéhna geus leungit arah. Nyieun perahu tina ngabaladah leuweung, Nyieun pamendet tina watu karuhun.” (Dia telah kehilangan arah. Membuat perahu dari membabad hutan, membuat bendungan dari batu leluhur.)