Indeks

Dirgahayu RI ke 80

Paseban Tri Panca Tunggal: Ruh Sunda yang Bernaung di Cigugur

Paseban Tri Panca Tunggal: Ruh Sunda yang Bernaung di Cigugur
Paseban Tri Panca Tunggal: Ruh Sunda yang Bernaung di Cigugur

Di kaki Gunung Ciremai yang megah, kabut pagi menggantung di atas sawah dan pohon beringin tua. Di sinilah berdiri Paseban Tri Panca Tunggal, sebuah pusat spiritual dan budaya Sunda yang didirikan oleh Pangeran Madrais, tokoh pembaharu adat Sunda pada akhir abad ke-19. Terletak di Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, tempat ini menjadi titik temu antara ajaran leluhur, nilai kemanusiaan universal, dan gerakan perlawanan budaya terhadap kolonialisme.

Bukan sekadar situs sejarah, Paseban adalah jantung dari komunitas AKUR (Ajar Karuhun Urang), sebuah kelompok spiritual-budaya yang hingga kini terus melanjutkan ajaran Sang Guru, Madrais, dalam praktik hidup sehari-hari: dalam ritual, dalam pertanian, bahkan dalam cara mereka berdialog dengan zaman.

Warisan Madrais: Agama Rasa yang Membumi

Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat adalah tokoh besar dalam sejarah perlawanan Sunda terhadap asimilasi paksa kolonial. Ia tidak hanya menolak dominasi kekuasaan asing atas tanah leluhur, tapi juga menyusun kembali sistem nilai melalui ajaran spiritual yang disebut “Agama Djawa Sunda”, yang kini diwarisi sebagai bagian dari AKUR.

Ajaran ini tidak mengklaim sebagai agama baru, melainkan sebagai jalan hidup berdasarkan rasa, karuhun, dan keselarasan dengan alam. Nilai utamanya disebut Tri Panca Tunggal:

  1. Rasa,
  2. Karsa,
  3. Cipta,
  4. Karuhun,
  5. Alam.

“Paseban bukan tempat ibadah dalam pengertian sempit. Ini tempat untuk menyatu kembali dengan diri, leluhur, dan semesta,” jelas Fajar Budhi Wibowo, yang telah melakukan studi mendalam tentang tradisi Cigugur.

Ritual, Musik, dan Bahasa Simbolik

Setiap tanggal 1 Rayagung dalam kalender Sunda, komunitas AKUR menggelar Seren Taun Cigugur—upacara syukur atas panen dan kehidupan. Berbeda dari Seren Taun lainnya di Jawa Barat, versi Cigugur sangat kental dengan nuansa spiritual universal dan simbolisme kosmologis. Warga mengenakan pakaian putih, memainkan gamelan, dan melakukan kirab budaya dari halaman Paseban menuju alun-alun adat.

Ada juga tembang Madrais, syair-syair ajaran yang dinyanyikan dengan penuh perenungan. Bahasa yang digunakan bukan sekadar Sunda, tetapi bahasa rasa—berisi pengingat tentang keseimbangan, kejujuran, dan cinta terhadap kehidupan.

“Seren Taun Cigugur bukan tontonan. Ia adalah perwujudan filsafat hidup, bukan sekadar perayaan panen,” tegas Fajar.

AKUR dan Dialog Zaman

Meski berakar kuat pada tradisi, komunitas AKUR di Cigugur aktif berdialog dengan zaman. Mereka tidak anti-modernitas, tapi percaya bahwa semua teknologi dan sistem sosial harus kembali pada rasa dan nilai kemanusiaan.

Di tengah tekanan zaman, AKUR bahkan mengembangkan program pendidikan berbasis nilai, pelestarian lingkungan, dan kajian naskah ajaran Madrais. Generasi mudanya kini mulai menggunakan media digital untuk mendokumentasikan dan menyebarkan pemahaman spiritual dan kebudayaan mereka kepada publik luas.

“AKUR adalah contoh langka dari komunitas adat yang tidak statis. Mereka justru sangat hidup, sangat reflektif, dan sangat terbuka dalam mengajarkan nilai-nilai yang aplikatif,” ujar Fajar.

Ancaman dan Harapan

Paseban Tri Panca Tunggal tidak luput dari tantangan. Sejumlah tekanan muncul dari mispersepsi publik, minimnya perlindungan hukum terhadap ekspresi keyakinan lokal, hingga ancaman komersialisasi Seren Taun. Namun komunitas ini tetap bertahan dengan kekuatan batin dan solidaritas sosial.

Fajar menutup pernyataannya dengan penuh empati:

“Kita sering lupa bahwa kebudayaan tak hanya soal benda, tapi tentang manusia yang bertahan dalam keyakinannya, yang hidup dalam nilai, dan yang setia menjaga roh peradaban. Cigugur adalah salah satunya.”

Fajar Budhi Wibowo, Fitri Kurniawati, Atu Tati Juwita, Tonny Warsono

Catatan Redaksi:
Paseban Tri Panca Tunggal dapat dikunjungi dengan terlebih dahulu menghubungi pengurus komunitas AKUR di Cigugur. Pengunjung diharapkan mengikuti tata cara adat, bersikap santun, dan terbuka terhadap pengalaman spiritual yang mungkin berbeda dari arus utama.

Melayani Seluruh Indonesia, Info Lengkap hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole
Exit mobile version