Oleh: SinergiNews – 31 Desember 2023.
Jika Anda menempuh perjalanan ke Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut bagian selatan, lalu berbelok ke jalan-jalan berbatu di kaki Gunung Dukuh, maka Anda akan tiba di Kampung Adat Dukuh, sebuah permukiman kecil yang tak hanya memelihara adat leluhur, tapi juga mempraktikkannya dalam sunyi dan kesetiaan.
Berjumlah tak lebih dari 50 kepala keluarga, warga Kampung Dukuh tetap hidup dalam kesederhanaan yang disiplin, menjauh dari teknologi modern, dan memegang teguh ajaran nenek moyang dalam setiap aspek kehidupan: pakaian, pertanian, bahasa, bahkan cara makan dan berdoa.
“Kampung Dukuh adalah contoh otentik bagaimana nilai adat bisa bertahan tanpa menolak modernitas secara agresif. Mereka hanya memilih jalan yang damai,” tutur Fajar Budhi Wibowo, yang beberapa kali melakukan riset budaya ke wilayah Garut Selatan.
Menjaga Warisan, Menolak Kemewahan
Rumah-rumah di Kampung Dukuh dibangun dari kayu dan bambu, beratap ijuk, tanpa listrik, tanpa antena parabola, dan tanpa gemerlap elektronik. Warga menolak penggunaan teknologi dan hiburan modern bukan karena tak tahu, tapi karena sadar bahwa “kecukupan” bukan berasal dari jumlah benda, melainkan ketenangan batin.
Para lelaki bertani di ladang secara bergiliran, sementara para perempuan mengurus rumah dan anak-anak dengan pola hidup komunal. Anak-anak mereka tidak menggunakan HP, tapi sudah fasih membaca naskah Sunda Kuno dan tahu bagaimana membedakan musim tanam dari arah angin.
“Mereka tidak anti-zaman, hanya menjaga irama hidup yang telah mereka warisi secara kolektif. Ini bukan keterbelakangan, tapi pilihan filosofis,” jelas Fajar.
Islam dan Adat Menyatu dalam Praktik Sehari-hari
Mayoritas masyarakat Kampung Dukuh secara formal memeluk agama Islam, namun mereka mempraktikkannya dengan cara yang sangat menyatu dengan nilai-nilai adat dan spiritualitas Sunda. Ritual seperti muja (doa bersama) pada malam Jumat dilakukan tanpa pengeras suara, dalam suasana hening dan penuh penghormatan terhadap alam dan leluhur.
Upacara besar seperti Seren Taun dan Tutup Taun dijalankan dengan iringan musik karinding dan doa-doa syukur dalam bahasa Sunda halus. Bagi warga Dukuh, Islam bukan sekadar identitas agama, tetapi jalan hidup yang berlandaskan kesederhanaan, kerukunan, dan rasa syukur.
“Saya menyaksikan sendiri bagaimana doa mereka bukan dalam bentuk permintaan, tapi bentuk rasa syukur. Ini spiritualitas yang tenang dan sangat mendalam,” kenang Fajar.
Sunyi yang Terjaga dari Dunia Luar
Warga Kampung Dukuh sangat berhati-hati terhadap dunia luar. Mereka menerima tamu, tapi dengan aturan adat yang ketat. Pengunjung harus berpakaian sopan, tidak boleh mengeluarkan kata kasar, dan tidak diperbolehkan membawa masuk perangkat elektronik yang mengganggu ketenangan kampung.
Meski demikian, generasi mudanya tetap menempuh pendidikan di luar kampung dan kembali membawa ilmu yang disaring dengan bijak. Beberapa warga bahkan aktif dalam jaringan komunitas adat Sunda lintas daerah, termasuk Cireundeu, Cigugur, dan Ciptagelar.
“Mereka tidak menutup diri, mereka menyaring dunia. Ini bentuk kearifan hidup yang sangat langka di zaman ini,” kata Fajar.
Terancam, Tapi Tidak Takut
Seperti banyak komunitas adat lain, Kampung Dukuh menghadapi tantangan besar: perluasan lahan industri, wisata massal, serta tekanan agar mengikuti standar hidup modern. Namun hingga kini, masyarakat Dukuh tetap konsisten menjaga integritas adat mereka.
Pemerintah Kabupaten Garut telah menetapkan Kampung Dukuh sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) dan zona perlindungan adat, meski implementasinya masih butuh penguatan.
Fajar menutup dengan harapan:
“Kampung Dukuh adalah pusaka hidup. Mereka tidak butuh banyak pujian, hanya butuh ruang untuk tetap menjadi diri mereka. Dan tugas kita menjaga itu.”
Catatan Redaksi:
Kampung Adat Dukuh dapat dikunjungi dengan izin resmi dari ketua adat setempat. Pengunjung harus mengikuti aturan lokal, seperti larangan mengambil gambar tanpa izin, larangan membawa makanan instan atau plastik sekali pakai, dan menghormati waktu-waktu ibadah.