Indeks

Dirgahayu RI ke 80

Kampung Mahmud: Religiusitas Sunda yang Tumbuh di Pinggir Sungai

Kampung Mahmud: Religiusitas Sunda yang Tumbuh di Pinggir Sungai
Kampung Mahmud: Religiusitas Sunda yang Tumbuh di Pinggir Sungai

Oleh: Tim SinergiNews – 26 Mei 2024

Dari kejauhan, Kampung Mahmud tampak seperti perkampungan biasa di pinggiran Sungai Citarum, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Namun siapa sangka, kawasan kecil ini merupakan salah satu simpul penting dalam sejarah penyebaran Islam di Tatar Sunda.

Kampung ini bukan kampung adat dalam pengertian umum, tanpa iket, tanpa rumah panggung bambu, tanpa ritual besar. Namun, di sanalah hidup sejenis adat yang lebih dalam: sopan santun, zikir dalam diam, dan penghormatan tanpa syarat pada leluhur dan alam.

“Mahmud itu bukan tempat untuk menonton upacara. Ini tempat untuk merenung dan menyadari bahwa keislaman dan kesundaan bisa hidup berdampingan, bahkan saling menguatkan,” ujar Fajar Budhi Wibowo, budayawan dari Cimahi yang telah lama meneliti simpul-simpul budaya Sunda Islam.

Jejak Syekh Mahmud dan Islam Awal di Tanah Sunda

Kampung Mahmud berasal dari nama tokoh penyebar Islam abad ke-16, Syekh Mahmud, yang dipercaya sebagai salah satu murid dari ulama besar Wali Songo. Ia mendirikan pusat dakwah Islam di pinggiran Sungai Citarum, mengajarkan Islam dengan pendekatan halus, tanpa kekerasan, dan merangkul budaya lokal.

Makam Syekh Mahmud kini menjadi situs ziarah yang cukup ramai, terutama menjelang Maulid dan bulan Ramadan. Namun berbeda dari tempat ziarah lain yang ramai dan kadang berlebihan, suasana di Mahmud tetap tenang. Warga sekitar bahkan mengatur arus peziarah agar tidak mengganggu irama hidup kampung.

Di sini, adat Sunda tidak dihapus oleh dakwah Islam, tapi dijahit kembali menjadi pakaian spiritualitas yang lembut dan membumi. Ungkapan-ungkapan seperti tata titi, someah, dan silih asah masih menjadi pedoman dalam hidup sehari-hari warga Mahmud.

Kampung yang Memuliakan Kesederhanaan

Tak ada bangunan mencolok di Mahmud. Rumah-rumahnya sederhana, halaman luas, dan suara azan terdengar jernih dari masjid tua kampung. Anak-anak bermain tanpa gawai, orang tua bercengkerama sambil membersihkan halaman. Ada suasana yang membuat hati tenang meski tanpa atraksi apapun.

Warga Mahmud hidup dari pertanian skala kecil, berdagang, dan sebagian menjadi pengajar agama. Pendidikan agama menjadi bagian penting dari kehidupan kampung, tapi selalu dibungkus dengan nilai kesundaan: lembut, menghargai proses, dan menghormati perbedaan.

“Kami dididik bukan hanya untuk taat secara ritual, tapi juga menjaga ucapan dan niat,” kata seorang ustaz muda yang ditemui SinergiNews di halaman masjid kampung.

Wisata Rohani dan Budaya yang Reflektif

Kampung Mahmud kini mulai dikenal sebagai destinasi wisata budaya dan religi yang unik. Bukan karena gemerlap, tapi karena sederhananya cara hidup yang justru memberi makna. Beberapa peziarah bahkan menginap semalam di rumah warga untuk ikut salat berjamaah dan mendengarkan kisah-kisah lama tentang Syekh Mahmud.

Kampung ini cocok dikunjungi oleh siapa pun yang ingin mendekat ke dalam, bukan keluar. Cocok bagi pejalan yang lelah dengan destinasi superficial dan ingin menemukan kembali makna hidup dalam wujud yang nyata.

Keteladanan yang Mengalir dari Laku

Kampung Mahmud mengajarkan bahwa budaya bukan soal pertunjukan, melainkan bagaimana nilai diwariskan lewat laku. Mereka tidak mengenal istilah “pariwisata budaya”, tapi menerima tamu dengan cara mereka sendiri: menyeduhkan teh, menyediakan tempat duduk, dan bercerita tanpa naskah.

“Kami tidak sedang memamerkan sesuatu. Kami hanya hidup dengan cara yang diwariskan. Kalau ada yang mau belajar, silakan duduk bersama kami,” ungkap Fajar mengutip seorang tokoh setempat.

Menemukan Keseimbangan di Pinggiran Sungai

Di tengah geliat modernisasi, Kampung Mahmud berdiri sebagai pengingat bahwa identitas Sunda tidak harus berbenturan dengan Islam, dan bahwa kesalehan tidak selalu harus ditampilkan keras-keras.

Dari pinggir Sungai Citarum yang dulunya menjadi jalur dagang dan dakwah, kini mengalir pelajaran diam: bahwa kebudayaan dan keimanan bisa hidup berdampingan dalam harmoni yang lembut.


Catatan Redaksi:
Kampung Mahmud dapat dikunjungi untuk wisata religi dan budaya, namun pengunjung diimbau untuk menjaga kesopanan dan tidak mengganggu suasana spiritual. Hormati warga setempat, hindari gaya liburan yang gaduh, dan biarkan diri Anda larut dalam kedamaian kampung ini.

Melayani Seluruh Indonesia, Info Lengkap hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole
Exit mobile version