Dayang Sumbi tahu, ini bukan sekadar pelanggaran terhadap waktu. Ini juga adalah pembelahan antara asal dan hasil, antara ibu dan anak, antara akar dan daun.
Ia meletakkan tenunannya, menatap ke langit timur, dan berkata:
“Pikeun malikkeun wanci, kudu aya pananda. lamun panon poé nyingsat saméméh waktuna, sagalana baris ruksak,” ujar Dayang Sumbi sendu.
(Untuk membalikkan waktu, harus ada penanda. Jika matahari terbit sebelum waktunya, segalanya akan hancur.)
Ia memanggil para burung, ia hembuskan angin, ia goyangkan pohon-pohon tua. Maka fajar pun datang lebih cepat.
Berbarengan dengan Dayang Sumbi bergerak, tiga manusia lembah berkumpul sejenak di bayang-bayang kabut. Ki Jarwa Dipa menatap Nyi Endang Palay dan Si Panyileukan, mengangguk.
“Leuweung, cai, jeung kawih kudu gerak bareng pikeun nahan anak seuneu,” katanya.
(Hutan, air dan lagu harus bergerak serentak untuk menahan anak api).
Mereka bergerak, masing-masing membawa kekuatan leluhur.
Ki Jarwa Dipa menancapkan tongkat akarnya ke tanah, dan bumi mengeluarkan suara mendesah, disertai aroma tanah purba yang menyengat. Akar-akar tua merangkak, membentuk dinding hidup yang menahan tumpukan batu Sangkuriang.
“Leuweung jeung watu ieu anu karuhun, anak seuneu. Anjeun moal bisa ngarabut akar jeung ngeruk batu lamun heunteu bari nyabut jiwana,” katanya.
(Hutan dan batu ini milik para lelehur wahai anak api. Kamu tak akan bisa mencabut akan dan mengeruk batu bila tidak dengan merampas jiwanya).
Sangkuriang menghantam akar-akar itu dengan batu dan membakarnya dengan bara, tapi setiap pukulan membuatnya semakin lelah, dan kabut semakin tebal di sekitarnya.