Nyi Endang Palay berdiri di tepi sungai, serulingnya mengalun seperti tangisan zaman. Air sungai bergolak, membentuk gelombang kecil yang menerjang bendungan Sangkuriang:
“Walungan lain milik anjeun, anak langit. Cai moal éléh ku seuneu,” nyanyinya.
(Sungai bukan milikmu, anak langit. Air takkan tunduk pada api)
Retakan membelah batu bendungan, dan air mulai merembes, mengguncang fondasi karya Sangkuriang. Dengan marah, ia memperkuat bendungan, tapi keringatnya kini bercampur dengan kabut air.
Si Panyileukan duduk di atas batu besar, menggambar lingkaran di tanah, dan menyanyikan lagu:
“Anak seuneu, anak seuneu, naha anjeun ngungudag kalangkang? Parahu anjeun moal balik, lamun asal anjeun teu kapanggih” teriaknya.
(Anak api, anak api, mengapa kau kejar bayangan? Perahumu takkan kembali, jika asalmu tak ditemukan).
Sangkuriang berhenti, matanya membara, dan berteriak:
“Tong ngomongkeun asal, budak! Kuring anu nyieun asal anyar!”, bentak Sangkuriang.
(Jangan membicarakan asal muasal, bocah)
Namun, suara Si Panyileukan terus bergema, dan bayang-bayang keraguan mulai merayap di dadanya, seolah bayang-bayang asal-usul yang tak ia kenal menekan napasnya. Sekilas, ia melihat kilatan wajah yang asing namun familiar di kabut, membuat jantungnya terhenti sejenak. Tangannya gemetar, dan satu batu jatuh dari genggamannya.