Oleh: Tim SinergiNews – 27 April 2025
Di tepi Sungai Cileuleuy, Subang, sebuah wangsit pada 1927 melahirkan Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP), sebuah gerakan spiritual yang mengalir seperti air, membawa harmoni dan nasionalisme. Diprakarsai oleh Mei Kartawinata, AKP menyatukan kearifan Sunda dengan semangat kebangsaan. Bagaimana warisan ini tetap mengalir di era modern 2025?
Jejak Mei Kartawinata
Mei Kartawinata, lahir pada 1 Mei 1897 di Kebonjati, Bandung, adalah keturunan Raden Kartowijoyo dan Raden Siti Maria, mengusung darah Pajajaran dan Majapahit. Sebagai nasionalis, ia berjuang melawan kolonial melalui gerilya Macan Putih di Gunung Wilis, Tulungagung, dan sempat dipenjara pada 1942–1946. Setelah kemerdekaan, Soekarno mendorongnya melanjutkan perjuangan, hingga ia wafat pada 1967 di Ciparay, Bandung. “Mei adalah pejuang yang menyatukan spiritualitas dan cinta tanah air,” ujar Nanda Shelly, ketua peringatan Tanggap Warsa 2023.
Pada 17 September 1927, Mei, bersama M. Rasyid dan Sumitra, menerima wangsit di Cimerta, Subang, melahirkan AKP. Ajaran ini resmi diakui pada 1979 oleh Kemendikbud sebagai kepercayaan penghayat.
Ajaran dan Ritual Sakral
AKP memandang alam sebagai “kitab suci” yang mengajarkan keseimbangan hidup. Filosofi intinya, seperti aliran sungai, adalah memberi manfaat bagi semua tanpa memandang latar belakang. Ajaran ini, tertuang dalam 17 pupuh Sunda di buku Katineung, melarang tujuh perbuatan (ma-pitu): judi, pelacuran, pencurian, mabuk, narkoba, amoralitas, dan pembunuhan. “Hidup adalah perjalanan menuju kebahagiaan bersama,” kata Rudi Hermawan, pengurus AKP, pada 2025.
Ritual utama, Tanggap Warsa 1 Sura, diadakan setiap tahun di makam Mei di Ciparay, dengan kirab sesajen, musik tarawangsa, dan pembacaan Pancasila. Pada 2023, peringatan ke-126 kelahiran Mei bertema “Manjing wanci kaasih ku tali paranti,” menekankan cinta tradisi dan persatuan. AKP juga mengucapkan selamat Idul Fitri 2025, menunjukkan sikap inklusif.
Kiprah dan Dampak Budaya
AKP tidak hanya spiritual, tetapi juga politis. Mei mendirikan Partai Permai pada 1955, meraih dua kursi di konstituante nasional, mencerminkan semangat nasionalisme ala PNI. Dengan lebih dari 100.000 pengikut di Bandung, Jakarta, dan Bekasi, AKP menghidupkan kembali filosofi Sunda di kalangan intelektual. Hingga 2025, organisasi AKP aktif menggelar sarasehan budaya dan pelatihan kearifan lokal, menarik wisatawan untuk belajar tentang tarawangsa dan ajaran Katineung.
Tantangan di Era Digital
Modernisasi menjadi tantangan. “Generasi muda sering menganggap ajaran ini kuno,” ujar Siti Aminah, anggota AKP, pada 2024. Stigma “Agama Kuring” dan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan juga menghambat pengakuan penuh. Meski begitu, AKP beradaptasi dengan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan ajaran dan menarik minat wisata edukasi. Dukungan dari Pemprov Jabar melalui sarasehan budaya memperkuat eksistensi mereka.
Refleksi: Warisan Sunda dan Nasionalisme
Fajar Budhi Wibowo, penggiat budaya dari Pusat Studi Budaya dan Sejarah Sanghyang Hawu serta Dewan Kebudayaan Kota Cimahi, melihat AKP sebagai cerminan kosmologi Sunda yang relevan. “Secara antropologis, ajaran Mei Kartawinata menggambarkan hubungan trilogis manusia-alam-Tuhan, dengan sungai sebagai metafora kehidupan yang memberi tanpa pamrih. Ritual Tanggap Warsa dan musik tarawangsa adalah ekspresi budaya tak benda yang memperkuat identitas Sunda. Dari perspektif kebudayaan, AKP unik karena menyatukan spiritualitas dengan nasionalisme, sebuah kombinasi langka yang menginspirasi Cimahi untuk membangun identitas urban berbasis kearifan lokal. Wisata edukasi, seperti workshop tarawangsa atau kunjungan ke makam Mei, bisa menjadi model pelestarian, mirip dengan upaya kami di Dewan Kebudayaan. Namun, tantangan stigma dan regenerasi menuntut kolaborasi lintas generasi dan dukungan pemerintah untuk pengakuan penghayat kepercayaan,” ujarnya.
Menyapa Jiwa Perjalanan
Aliran Kebatinan Perjalanan mengajak kita menyusuri sungai kehidupan, belajar dari kearifan Mei Kartawinata. Di Ciparay, dengan suara tarawangsa dan semangat kebersamaan, mereka menjaga jiwa Sunda. Siap bergabung dalam perjalanan ini?
Catatan Redaksi: Artikel ini disusun berdasarkan wawancara dengan Nanda Shelly (2023, Jakatarub), Rudi Hermawan (2025, Liputan6.com), dan Siti Aminah (2024, Kompas.com), serta data dari BandungBergerak.id (2023) dan Kemendikbud (1979). Sinerginews.co.id berkomitmen mempromosikan budaya Indonesia.