Indeks

Dirgahayu RI ke 80

Teras Sriwijaya, Mimpi Indah di Atas Sungai?

Fajar Budhi Wibowo - Koordinator Umum LSM KOMPAS. - Pemerhati Kebijakan Publik.
Fajar Budhi Wibowo - Koordinator Umum LSM KOMPAS. - Pemerhati Kebijakan Publik.

SinergiNews – CIMAHI — Di kota yang dulu dibangun di atas keteduhan dan aliran air, kini hadir wacana yang membuat alis rakyat mengernyit: Pemerintah Kota Cimahi, melalui Wakil Wali Kota-nya, menggagas sebuah bangunan baru bernama Teras Sriwijaya, yang disebut-sebut akan berdiri tepat di atas aliran Sungai Cimahi, kawasan Pasar Antri Baru. Tempat ini dirancang sebagai lokasi relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL).

Bagi sebagian orang, rencana ini tampak seperti angin segar—penataan ruang kota yang berani dan solutif. Namun, bagi LSM Koordinat Masyarakat Pejuang Aspirasi (KOMPAS), di balik nama yang megah dan janji estetika kota, mengendap persoalan besar yang tak bisa dianggap sepele: pelanggaran atas hukum, ruang hidup, dan logika air itu sendiri.

Sungai Bukan Sekadar Aliran, Tapi Warisan

Sungai dalam kebudayaan Nusantara bukan hanya saluran air, tetapi juga urat nadi peradaban. Ia membawa cerita, kehidupan, hingga ketenangan. Membangun bangunan permanen atau semi permanen di atasnya, bukan hanya mengganggu aliran fisik, tapi juga melukai nilai filosofis dan ekologis yang diwariskannya.

LSM KOMPAS menyampaikan bahwa rencana tersebut berpotensi melanggar beberapa aturan penting. Secara normatif, pembangunan ini berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang secara tegas melarang pembangunan struktur umum di atas badan sungai.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai hanya memperbolehkan prasarana teknis air tertentu yang berdiri di atas aliran sungai, bukan bangunan komersial atau tempat relokasi.

Hal ini diperkuat pula oleh Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015, yang mengatur secara ketat tentang garis sempadan sungai dan menyebutkan bahwa dalam kawasan perkotaan, bangunan harus berada minimal 10 meter dari tepian sungai.

Jika pembangunan ini tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Cimahi, maka rencana tersebut juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Di luar regulasi formal, muncul pula pertanyaan publik terkait kelengkapan kajian teknis, kejelasan desain, serta apakah Pemerintah Kota Cimahi telah berkoordinasi dengan instritusi terkait, lembaga-lembaga berwenang dalam pengelolaan sungai lintas wilayah. Apakah gagasan yang ada berkiblat pada AMDAL sebagai syarat awal dari kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan ini.

Analisis LSM KOMPAS: Bukan Solusi, Tapi Ancaman Baru?

Berdasarkan analisis SWOT yang dilakukan oleh tim kebijakan publik LSM KOMPAS, rencana Teras Sriwijaya memiliki niat baik untuk menata kota dan melindungi keberadaan PKL. Namun, strategi pelaksanaannya menyisakan banyak celah. Kelemahan paling mencolok terletak pada pemilihan lokasi yang rawan banjir dan sangat mungkin menimbulkan beban ekologis baru.

Selain itu, pembangunan yang melibatkan kawasan sungai berpotensi tumpang tindih kewenangan, terutama jika dilakukan tanpa pelibatan otoritas teknis di bidang sumber daya air.

Dari sisi ancaman, pembangunan ini tak hanya membawa risiko fisik seperti banjir atau sedimentasi, tetapi juga bisa mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Di tengah krisis iklim dan meningkatnya curah hujan, setiap keputusan yang menyangkut ruang air semestinya dipertimbangkan dengan matang.

Relokasi PKL ke atas sungai bukanlah solusi, tetapi justru bisa memunculkan stigma baru: bahwa penataan kota dilakukan dengan mengorbankan lingkungan dan kelompok rentan.

Rakyat Butuh Penataan, Bukan Penggusuran Rasa

“Penataan itu bukan memindahkan masalah ke ruang lain. Tapi menata ulang hubungan kita dengan ruang, warga, dan alam,” ujar Fajar Budhi Wibowo, Koordinator Umum LSM KOMPAS dalam pernyataannya.

Sebagai lembaga yang konsen pada analisis kebijakan publik, LSM KOMPAS menilai bahwa penataan PKL harus dimulai dari partisipasi yang adil, termasuk adil kepada lingkungan bukan hanya sekadar esetika kota.

Apalagi, belum ada informasi yang jelas mengenai proses konsultasi publik, musyawarah bersama pelaku usaha mikro, atau penghitungan dampak sosial-ekonomi yang akan terjadi. Kota yang beradab adalah kota yang merangkul ruang hidup warganya secara bermartabat.

Mengawali langkah untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas kebijakan, LSM KOMPAS menyatakan komitmennya untuk mengajukan permintaan informasi publik kepada Pemerintah Kota Cimahi terkait rencana pembangunan Teras Sriwijaya.

Selain itu, bila wacana ini tetap bergulir, maka surat terbuka akan dikirimkan kepada BBWS Citarum, Dinas SDA Provinsi Jawa Barat, serta DPRD Kota Cimahi.

Dengan gerakan elegannya, LSM KOMPAS juga akan menyelenggarakan diskusi publik terbuka bersama elemen masyarakat sipil, akademisi, dan perwakilan komunitas sebagai bentuk pendidikan publik dan advokasi kebijakan yang sehat.

“Jangan sampai kita menyemai impian di atas luka. Kota yang baik bukan yang cantik dari atas, tapi yang adil dari bawah. Pengingat ini guna mengantisipasi ujaran kepala daerah dianggap sebagai “fatwa” oleh para OPD Cimahi,” tutup pernyataannya tersebut.

Di ujung kisah, rakyat berharap—agar pembangunan tidak lupa berpijak pada hukum, nilai-nilai lokal, dan nalar lingkungan. Karena sungai bukan halaman belakang, melainkan halaman depan peradaban.***

Jurnalis: Dadan Kurnia

Editor: Fitri Kurniawati

Melayani Seluruh Indonesia, Info Lengkap hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole
Exit mobile version