Cireundeu: Kearifan Leluhur di Jantung Kota Cimahi
Oleh: SinergiNews – 27 Agustus 2023
Di tengah padatnya pemukiman dan lalu lintas perkotaan Cimahi yang terus tumbuh, terselip sebuah ruang yang seolah menolak lupa. Kampung Adat Cireundeu, berdiri tenang di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, bukan sekadar perkampungan, tapi benteng terakhir nilai-nilai Sunda Wiwitan yang hidup berdampingan dengan modernitas.
Berada hanya sekitar 7 km dari pusat pemerintahan Kota Cimahi, kampung ini menjadi oase kebudayaan yang menyimpan praktik spiritual, pola hidup ekologis, serta etika bermasyarakat yang diwariskan turun-temurun.
“Cireundeu adalah anomali yang indah. Di tengah kota industri dan militer, mereka tetap teguh mempertahankan nilai-nilai hidup yang nyaris punah,” ujar Fajar Budhi Wibowo, budayawan Kota Cimahi yang telah mengenal komunitas ini selama lebih dari satu dekade.
Sunda Wiwitan dan Jalan Spiritual Leluhur
Warga Kampung Adat Cireundeu menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, sistem keyakinan pra-Islam yang berakar pada kearifan lokal dan kosmologi Nusantara. Mereka menyembah Sang Hyang Kersa (Yang Maha Kuasa), dan menjaga hubungan harmonis dengan alam melalui ritus harian, hajat tahunan, dan pola hidup hemat sumber daya.
Di kampung ini tidak ada kuburan megah atau rumah tembok tinggi. Semua dibangun berdasarkan nilai kesetaraan dan keharmonisan. Upacara Seba, Hajat Mulud, dan Seren Taun lokal yang diberi nama Tutup Taun Ngemban Taun masih dilangsungkan dengan khidmat, mengundang masyarakat luas untuk turut serta dalam kontemplasi bersama.
“Spiritualitas di sini bukan simbol, tapi sistem nilai yang membentuk cara berpikir dan bertindak warga sehari-hari. Mereka tidak sekadar memelihara ritus, tapi membangun etika hidup,” jelas Fajar.
Rasi, Bukan Beras: Kemandirian yang Dilupakan
Salah satu warisan paling unik dari Kampung Cireundeu adalah pangan lokal berbasis singkong yang disebut rasi (beras singkong). Sejak masa kolonial, komunitas ini menolak ketergantungan pada beras sebagai pangan utama karena pernah digunakan sebagai alat politik kolonial untuk menjinakkan rakyat.
Warga mengembangkan berbagai resep makanan berbasis singkong: nasi rasi, leupeut rasi, bubur rasi, hingga tape singkong—sebuah upaya nyata dalam mempertahankan kemandirian pangan sekaligus warisan ekologis.
“Rasi bukan nostalgia, tapi perlawanan. Di saat dunia terguncang oleh krisis beras, mereka sudah mandiri sejak lama,” kata Fajar dengan penuh kekaguman.
Modernitas yang Dipilah, Bukan Ditolak
Berbeda dari kesan umum tentang kampung adat yang tertutup, Cireundeu justru membuka ruang dialog dengan dunia luar. Mereka menggunakan listrik, sekolah formal, dan teknologi digital, namun tetap memfilter semua itu melalui lensa nilai dan adat.
Anak-anak mereka sekolah di luar kampung, tapi tetap ikut dalam upacara adat. Mereka tahu menggunakan ponsel, tapi tidak lupa kapan harus menyepi. Inilah bentuk “modernitas selektif” yang menjadikan mereka kuat tanpa kehilangan akar.
“Cireundeu bukan museum budaya. Ini adalah komunitas hidup yang terus menegosiasikan nilai leluhur dengan realitas kontemporer,” ujar Fajar.
Ancaman Urbanisasi dan Harapan Regenerasi
Seiring berkembangnya kawasan Cimahi Selatan, Kampung Cireundeu menghadapi tantangan berat: ekspansi pembangunan, perubahan tata ruang, dan kurangnya perlindungan hukum terhadap zona adat. Beberapa area suci bahkan pernah terancam dijadikan kawasan industri dan perumahan.
Meski begitu, generasi muda di kampung ini terus didorong untuk ikut aktif menjaga warisan leluhur. Melalui Kelompok Pemuda Adat, mereka membuat video dokumenter, buku kecil tentang adat, dan menyelenggarakan tur budaya berbasis edukasi.
“Cireundeu seharusnya tidak hanya dijaga oleh warganya, tapi juga oleh pemerintah dan masyarakat luas. Karena mereka menjaga sesuatu yang menjadi jati diri kita semua,” tegas Fajar.
Catatan Redaksi: Kampung Adat Cireundeu dapat diakses dari pusat Kota Cimahi melalui Jalan Leuwigajah. Pengunjung disarankan menghubungi pengurus adat sebelum datang, serta menghormati norma dan ketentuan lokal. Waktu terbaik berkunjung adalah saat upacara adat seperti Seba atau panen rasi.
Oleh: Fajar Budhi Wibowo.
Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC), yang pada keberadaanya terus menggeliat, harus berperan sebagai salah satu unsur forum pengelola program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Dari 19 perusahaan yang aktif dalam forum TJSL kota (DPMPTSP Kota Cimahi, 2024), DKKC dapat andil dalam menyusun proposal bankable untuk mendanai pilot project bidang pemajuan kebudayaan, seperti revitalisasi Gedung Societet atau program “Sabtu Budaya” di tiap kelurahan maupun program ikonik lainnya.
Pembangunan kebudayaan semestinya diposisikan sebagai nadi utama pembangunan, bukan tempelan kegiatan seremoni. Ajip Rosidi pernah menulis bahwa “kebudayaan adalah pengetahuan tentang hidup yang dibentuk oleh pengalaman panjang masyarakatnya.” Dalam konteks Cimahi dan Jawa Barat, pernyataan ini bukan sekadar renungan, tetapi panggilan. Tanpa integrasi kebudayaan dalam visi pembangunan, maka Smart City hanya akan menjadi kota cepat, bukan kota cerdas.
Banyak orang mengira seni itu indah jika menyenangkan mata. Namun seni justru melampaui persepsi visual yang menyenangkan. Ia bisa hadir sebagai sengatan sunyi yang mengguncang kesadaran. Ia tidak selalu menyajikan ketenteraman, kadang justru menampar, membangunkan, bahkan melukai dengan cara yang luhur. Dalam kehadiran senyapnya, seni menjadi seruan, pengingat, dan penanda zaman yang tak bisa diabaikan.
Dengan semangat kolaborasi, kegiatan mendapat dukungan dari lembaga, tokoh, komunitas, dan media yang memiliki cinta yang sama pada warisan budaya bangsa. Dari awal hingga akhir, setiap detik seperti jahitan halus dalam kain kebaya, membentuk narasi utuh tentang siapa kita. Ke mana akar budaya ini akan dibawa di masa depan.
Dalam kehidupan kita sehari hari terpampang suatu fenomena, di satu sisi terbentang warisan leluhur: kitab-kitab tua, pahatan batu, alat musik tradisi, cerita yang bernilai sejarah yang menggambarkan tokoh dan peristiwa masa lalu. Di sisi lain, menjulang bangunan modern, bayangan kota yang hingar bingar dengan penanda perlengkapan kehidupan sehari hari yang berteknologi canggih yang menjadi simbol zaman.
“Kebaya bukan semata pakaian. Ia adalah pernyataan budaya,” ujar Lia Nathalia, Ketua Komunitas Perempuan Berkebaya, dengan nada penuh keyakinan. “Di balik setiap helai kebaya, tersimpan kisah panjang perempuan Nusantara. Ia bukan sekadar simbol feminitas, tetapi juga lambang keteguhan, ketulusan, dan kecintaan pada akar budaya kita. Karena itu, dalam lomba ini, kami tidak mencari siapa yang paling cantik saat berkebaya. Justru kami ingin melihat siapa yang mampu memaknai kebaya sebagai cermin jati dirinya.”
“Dalam acara ini,” terang Fitri Kurniawati dengan nada reflektif, “saya melihat bahwa kebaya bukan sekadar lembaran kain yang dibentuk indah di tubuh perempuan. Ini juga bukan perkara siapa yang mengenakan kebaya paling mahal, atau siapa yang menghias dirinya dengan asesoris paling gemerlap. Lebih dari itu, lomba ini menjadi ruang bagi setiap perempuan untuk menyelami kembali jati dirinya, melalui pilihan kain yang ia kenakan, melalui lipatan sanggul yang ia tata, hingga pada makna yang ia sematkan di balik kebaya yang ia pilih. Intinya, ini adalah tentang memahami siapa diri kita dalam bingkai budaya.”
Pemerintah tetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Momentum ini sarat makna sejarah dan kontroversi, diharapkan memperkuat jati diri bangsa Indonesia.
Sangkuriang menatap bayang-bayang itu, dadanya sesak oleh ingatan yang menyeruak: pelukan ibunya di bawah pohon, lolongan Si Tumang di malam yang dingin, dan darah yang ia tumpahkan tanpa tahu itu adalah ayahnya.
Dayang Sumbi turun dari rumah cahayanya, langkahnya ringan seperti kabut, namun setiap tapaknya mengguncang bumi seperti gempa purba. Ia berdiri di hadapan Sangkuriang, memegang sehelai benang fajar yang berkilau seperti air mata bintang.
Suaranya lembut namun menghancurkan seperti ombak yang memecah batu karang.
“Asal anjeun lain ti perahu, lain ti pendetan, tapi ti rangkai wanci anu kuring tinung jeung kasih Si Tumang. Anjeun anak kuring, anak kahyangan, tapi dosa anjeun ka Bapa anjeun ngahariring di leutak ieu.” (Anakku, asalmu bukan di perahu, bukan di bendungan, tapi di jalinan waktu yang kutenun bersama kasih Si Tumang. Kau anakku, anak kahyangan, tapi dosamu pada ayahmu bernyanyi di lumpur ini.)
Orang Tua Lembah berkumpul. Ki Jarwa Dipa mengangguk-angguk sambil menyentuh tanah dengan tongkat akar sambil berujar:
“Manéhna geus leungit arah. Nyieun perahu tina ngabaladah leuweung, Nyieun pamendet tina watu karuhun.” (Dia telah kehilangan arah. Membuat perahu dari membabad hutan, membuat bendungan dari batu leluhur.)