Indeks

PERAHU YANG DILARANG KEMBALI – BAGIAN III (Tamat)

Cerpen Alegoris Kosmologis Sunda - Bagian 3: Abu dan Bayang-Bayang Asal- Oleh: Fajar Budhi Wibowo

Trilogi Cerpen Alegoris Kosmologis Sunda - Perahu yang Dilarang Kembali - Bagian 3: Abu dan - Oleh: Fajar Budhi Wibowo
Trilogi Cerpen Alegoris Kosmologis Sunda - Perahu yang Dilarang Kembali - Bagian 3: Abu dan Bayang-Bayang Asal - Oleh: Fajar Budhi Wibowo

Si Panyileukan melompat dari batu besar, tawanya seperti gema dari langit purba. Ia menaburkan debu dari lingkaran tanahnya, dan debu itu membentuk bayang-bayang wajah Dayang Sumbi, bercampur dengan sorot mata Si Tumang yang penuh pengampunan.

“Anak seuneu, naha anjeun nyaho saha kalangkang anjeun? Ambu Wanci jeung Bapa Kahyangan geus ninung anjeun sateuacan bumi lahir.”
(Anak api, tahukah kau siapa bayanganmu? Ibu Waktu dan Bapa Kahyangan telah merajutmu sebelum bumi lahir.)

Sangkuriang menatap bayang-bayang itu, dadanya sesak oleh ingatan yang menyeruak: pelukan ibunya di bawah pohon, lolongan Si Tumang di malam yang dingin, dan darah yang ia tumpahkan tanpa tahu itu adalah ayahnya.

Dayang Sumbi menatap dari kejauhan, dari atas tebing tempat ia menenun cahaya. Ia tahu ini adalah akhirnya. Bukan akhir dunia, tapi akhir dari sesuatu yang tak bisa disebut. Mungkin harapan. Mungkin pertalian.

“Kuring henteu nyiptakeun manéhna pikeun nyiksa bumi,” gumamnya.
(Aku tidak menciptakannya untuk menyiksa bumi.)

Dayang Sumbi turun dari rumah cahayanya. Ia menuruni bukit dengan langkah perlahan. Kabut membuka jalan. Ia mengenakan jubah tenun dari cahaya purnama. Rambutnya dililit benang merah dari fajar yang patah. Langkahnya ringan seperti kabut, namun setiap tapaknya mengguncang bumi seperti gempa purba. 

Ia mendekati Sangkuriang yang masih terduduk. Mereka berdua diam. Hanya suara tetesan air dari pepohonan yang membentuk ritme pilu.

Ambu Wanci (Ibu Waktu) berdiri di hadapan Sangkuriang, memegang sehelai benang fajar yang berkilau seperti air mata bintang.

“Anaking jimat awaking,” katanya.
(Anaku belahan jiwaku) 

Suaranya lembut namun menghancurkan seperti ombak yang memecah batu karang.“Asal anjeun lain ti perahu, lain ti pendetan, tapi ti rangkai wanci anu kuring tinung jeung kanyaah Si Tumang. Anjeun anak kuring, anak kahyangan, tapi dosa anjeun ka Bapa anjeun ngahariring di leutak ieu.”
(Anakku, asalmu bukan di perahu, bukan di bendungan, tapi di jalinan waktu yang kutenun bersama kasih Si Tumang. Kau anakku, anak kahyangan, tapi dosamu pada ayahmu bernyanyi di lumpur ini.)

Melayani Seluruh Indonesia, Info Lengkap hubungi kami

Melayani Seluruh Indonesia, info lengkap hubungi kami

Optimized by Optimole
Exit mobile version