Langit menutup diri dengan awan kelabu, dan hujan turun pelan, membersihkan abu dari Padang Karuhun seperti air mata alam.
Orang Tua Lembah kembali ke lembah mereka, membawa cerita baru untuk disimpan dalam carita kolot, tradisi lisan, lagu purba yang tak pernah usai. Burung titu tutul terbang ke pucuk pohon tertua, menyanyikan lagu penutup:
“Sasakala geus réngsé, tapi wanci moal eureun. Gunung bakal ngahariring pikeun anak seuneu salalawasna.”
(Legenda telah selesai, tapi waktu takkan berhenti. Gunung akan bernyanyi untuk anak api selamanya.)
Dayang Sumbi berjalan menjauh. Ia tidak kembali ke rumah tenun. Ia melebur bersama kabut. Ia tahu tugasnya telah selesai. Tapi benang-benang waktu masih berserakan, dan harus ada yang merajutnya kembali suatu hari nanti.
Namun, ada kalanya Dayang Sumbi kembali ke rumah cahaya untuk menenun, benang fajar barunya berkilau seperti air danau yang mencerminkan langit. Ia tersenyum, karena ia tahu, seribu lingkaran matahari lagi, anak api akan kembali, dengan luka baru, namun juga harapan yang tak pernah pudar.
Sangkuriang, setiap seribu lingkaran matahari di malam bulan purnama, ia akan datang untuk mencoba menyusun kembali perahunya, tapi selalu gagal, dan selalu diulang.
Gunung yang menjulang di Padang Karuhun akan selamanya menyanyikan kasih Si Tumang, menjaga rahasia anak dari ibu waktu dalam pelukan bumi.
Dan langit? Langit tetap seperti dulu, tapi tapi didalamnya, menyimpan cerita yang tak pernah selesai.***
… TAMAT …
Catatan:
Trilogi ini adalah alegori. Kisah tentang anak yang menciptakan kehancuran demi kembali ke asal. Tentang ibu yang menjaga keseimbangan meski harus merelakan. Tentang dunia yang tidak selalu bisa dimiliki, meskipun kita dilahirkan darinya.