Konon, ia lahir dari dentum perut bumi. Tidak menangis, tidak menjerit. Hanya membuka mata dan menggetarkan kabut di sekelilingnya. Api melingkar di ubun-ubunnya, dan di telapak kakinya terdapat bekas pijar yang tak padam. Tanda bahwa ia bukan anak manusia biasa, tapi titisan dari pergolakan antara langit dan tanah.
Tubuhnya mengalir lava. Setiap langkahnya membakar rumput. Suaranya menggema seperti batu pecah dihantam halilintar. Ia tidak tahu siapa dirinya, tapi ia tahu satu hal: ia ingin kembali.
Bukan kembali ke kampung halaman, ia tak punya itu. Bukan kembali pada pelukan, ia belum mengenal kasih. Yang ia rindukan adalah asal-muasal, sesuatu yang tak bisa ia sebut, tapi selalu memanggilnya dari ujung matahari terbit. Dalam bahasa tanah Tatar Sunda: mula balik ka asal-usulna.
Ia berjalan menyusuri rimba tak bernama. Di antara pohon-pohon raksasa dan kabut yang bersarang di akar-akar waktu, Sangkuriang mencari arah pulang tanpa tahu jalan. Langkahnya menoreh tanah, dan setiap tanah yang tersentuh menjadi hangat, lalu retak.
Di bawah tapak kakinya, tanah mengeluarkan bunyi lirih:
“Hapunten, nu jadi asal…”
(Maafkan, yang menjadi asal…)