Di kaki gunung yang belum menjadi gunung, di tepi hulu yang belum mengalir, berdiri seorang perempuan yang tidak pernah lahir dan tidak pernah mati.
Dayang Sumbi, pemintal fajar, penenun cahaya, pelindung keseimbangan.
Orang-orang menyebutnya “Ambu Wanci” (“Ibu Waktu”), meski ia tidak mengandung siapa-siapa. Ia tinggal di rumah kecil yang mengambang di antara kabut dan akar, menenun benang cahaya pagi ke dalam pola bintang.
Rambutnya menjuntai sampai ke tanah, menjadi akar pohon. Jemarinya tidak pernah berhenti menenun, karena dari jalinan benangnya, matahari tahu kapan harus terbit, dan hujan tahu kapan harus turun. Dalam tenunannya, tertulis aksara langit, aksara yang disebut Kawih Langit (Nyanian Langit), hanya bisa dibaca oleh burung-burung yang tinggal di pucuk pohon tertua.
Ia tahu Sangkuriang akan datang. Ia selalu datang. Setiap seribu lingkaran matahari.
Ia adalah ujian. Ia adalah api yang ingin menaklukkan sumber air.
Namun ia tidak membenci Sangkuriang. Ia hanya menjaga agar waktu tidak terbakar oleh nafsu yang melampaui takaran. Karena jika waktu hangus, maka gunung akan menjadi laut, dan langit akan kehilangan bayangan.