Ternyata mereka bukan dua-dua orangnya penghuni dunia purba itu. Di lembah-lembah yang tersembunyi antara bayangan dan bisikan, tinggallah para penjaga tanah. Bukan raja, bukan dewa, tapi rakyat pertama.
Mereka menyebut diri Orang Tua Lembah. Makhluk-mkhluk ini hidup dari dedaunan, bernapas bersama lumut, dan tidur di bawah nyanyian angin. Mereka tidak mencatat sejarah, tapi mengenangnya dalam tubuh. Dalam tubuh mereka mengalir kisah-kisah lisan dari mulut ke mulut: carita kolot (cerita orang tua), yang kini hampir tak lagi terdengar.
Tiga tokoh paling tua dan paling bijak di antara mereka:
Orang pertama bernama Ki Jarwa Dipa, si penunggu hutan keramat, berjanggut akar, bermata burung hantu. Ia bisa membaca napas bumi dari bisikan cacing. Dalam suaranya ada gema dari ribuan tahun lalu.
Kedua adalah Nyi Endang Palay, penyanyi hujan dari ladang batu. Ia menari agar awan tak tersesat. Suaranya dapat memanggil pelangi bahkan dari batu kering. Ia menyimpan kendi berisi air mata zaman.
Terakhir yang ketiga ialah Si Panyileukan, bocah aneh berumur tujuh, tepatnya tujuh ribu tahun, tak pernah tumbuh, tapi tahu rahasia daun yang belum gugur. Ia tertawa bila langit marah dan menangis bila malam terlalu tenang. Di mulutnya tersimpan teka-teki tentang dunia yang belum terjadi.