Dan Dayang Sumbi, di tengah tenunannya, mendongak. Ia merasakan getar di benang-benang cahaya yang ia rajut, ia berkata pada diRinya sendiri:
“Sangkuriang geus turun tina ruhayna. Lain pikeun deukeut. Tapi pikeun ngarebut.”
(Sangkuriang telah turun dari bara. Bukan untuk mendekat. Tapi untuk merenggut.)
Ia meraih satu gulungan cahaya fajar dan menggenggamnya erat. Waktu harus diputar lebih cepat. Sebelum nanti perahu itu jadi, air terhenti dan asal dihancurkan oleh yang merindukannya.
Di langit barat, burung titu tutul menjerit lebih awal. Awan jingga mulai tertusuk cahaya dari benang fajar palsu yang dirajut oleh jemari Ibu Waktu.
Alam bersiap menyaksikan sandiwara tua yang akan kembali dimainkan, kali ini dengan bara yang lebih menyala, dan luka yang lebih dalam…