Unsur Pendidikan Bersuara
Dr. Jajang Hendar Hendrawan dari STKIP Pasundan mengambil kesempatan pertama berbicara. Pihaknya mengungkapkan isi hati saat menghadiri acara diskusi ini, dan ia mengatakan baru kali ini diundang langsung dalam acara diskusi dengan unsur pentahelix di Tingkat Kota Cimahi.
“Kami baru kali ini diundang untuk diskusi tentang pemajuan kebudayaan bersama unsur pentaheix di Kota Cimahi. Kami siap mendukung dan bekerja sama dalam penelitian serta kajian akademik. Banyak yang bisa kita kolaborasikan, terutama dalam mengintegrasikan aspek-aspek pemajuan kebudayaan ke dalam kurikulum Pendidikan.,” terang Dosen Budaya Sunda ini.
Pendapat lain, tersuarakan dari Heri Pardiana sebagai perwakilan Guru SD, yang meminta ada ruang berekspresi bagi masyakat. “Bisa tidak, pemerintah menyediakan ruang untuk masyarakat kebudayaan berkreasi dan berkespresi. Semisal, optimalnyak keberadaan Cimahi Teknopark untuk ekspresi masyarakat kebudyaaan,”.
MGMP Basa Sunda SMP bersuara lantang tentang keresahannya, yaitu tentang pendukungan kebijakan pemerintah atas nasib para Guru Basa Sunda.
“Saat ini, untuk para Guru Basa Sunda belum memiliki peluang menjadi P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), ini perlu dipikirkan oleh pemerintah. Selain itu, kita kan sering melihat dan mendengar, para pejabat dalam setiap pidato menyelipkan Pantun. Nah, disunda juga memiliki aset objek pemajuan kebudayaan berupa pantun, atau dalam Basa Sunda disebut Sisindiran, saran saya adakan lomba sisindiran di Tingkat Kota Cimahi,” gagasnya.
Laila Nur Salsabila, mahasiswi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) memiliki aspirasi agar digalakkanya ekstrakuriluler berbasis budaya di sekolah-sekolah. Hal tersebut terpicu oleh keresahanya melihat fakta dilapangn bahwa kenyataan pahitnya adalah penggunaan bahasa daerah merosot, terutama Basa Sunda.
Hal mengejutkan dan cukup menyita perhatian peserta diskudi adalah saat perwakilan dari IKIP Siliwangi berbicara. Ia adalah Gusjur Mahesa, seorang Dosen Bahasa Indonesia. Dengan dandanannya yang nyentrik tampil berbicara.
“Saya arek mamatahan ka pejabat-pejabat, tapi pejabatna euweuh rek dipapatahan teh, Hampuranya nya,” ungkapnya.
Kritikan keras terlontar yang ditujukan untuk Wali Kota Cimahi yang tidak hadir dalam undangan karena ada kabar menghadiri undangan pihak lain yang akan naik haji. Gusjur mengkritisi pula penamaan program Seniman Masuk Sekolah. menurutnya lebih pas bila namanya Seniman diperkejakan di sekolah, dah harus mendapatkan gaji.
“Saya juga tidak setuju dengan program Seniman Masuk Sekolah, seharusnya seniman dipekerjakan di sekolah, digaji,” tegasnya.
Selain itu, ia pun menerangkan bahwa program pemajuan kebudayaan harus menciptakan kebudayaan. juga ia pemerintah selalu mengelu-elukan Cireundeu, namun tidak menirunya.
“program kebudayaan bukan hanya menciptakan juara-juara, budaya bukan urusan juara tapi lebih kepada nilai. Tiru Cireundeu! Dukplikasi ke kelurahan-kelurahan lain di Kota Cimahi,” Teriaknya.
Aspirasi dari praktisi pendidikan yang peduli akan pemajuan kebudayaan pun terlontar dari Dewi Rahmasari.
“Seharusnya, pintu gerbang kota cimahi dibangun untuk mencerminkan seni dan budaya cimahi, kaulinan barudak selalu ditampilkan di berbagai acara cimahi bersama seni tarinya, semua anggota DKKC dan pemerhati pendidikan kebudayaan kota cimahi diberikan pelatihan bela negara, karena mereka adalah pejuang kebudayaan kota cimahi garis depan sebab secara sistematis kebudayaan Indonesia khusus cimahi dikikis sedikit demi sedikit di era prodi war ini. Kota cimahi juga bisa membuat musik tradisional calung bisa lebih mashur. Coba Cimahi membuat saung Calung, Saung Batik dan Saung Lukis bahkan Saung Seni di setiap kelurahan,” papar Dewi.